Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengklaim, studi bersama (joint study) penentuan harga gas bagi industri pupuk di kawasan industri Teluk Bintuni, Papua Barat, antara British Petroleum (BP) Berau Ltd dengan PT Pupuk Indonesia (Persero) belum menemui titik terang.
I Gusti Nyoman Wiratmaja, Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM mengatakan, persoalan terkait harga pupuk dunia yang tengah merosot ditengarai menjadi salah satu penyebab belum rampungnya studi bersama tersebut. Pupuk Indonesia meminta BP untuk menurunkan kembali harga gasnya.
"Masalahnya adalah harga pupuk urea yang turun drastis. Biasanya, harga urea bisa di atas US$300 per ton. Kini, harga internasionalnya hanya US$200 per ton. Sehingga, kedua pihak sepakat menghitung ulang harga gas yang ideal seperti apa," ujar Wiratmaja di Kementerian ESDM, Jumat (1/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kajian ini terpaksa molor dari tenggat waktu seharusnya, yaitu pada tanggal 25 Juni 2016. Menanggapi hal tersebut, Wiratmaja bilang, studi bersama terkait harga gas ideal masih terus dilakukan mengingat BP Berau sudah menetapkan alokasi gas bagi industri tersebut.
Kepastian itu datang setelah Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (SKK Migas) memberikan dokumen pasokan gas bagi industri pupuk di Papua Barat, sebagai satu dari empat dokumen yang diserahkan kepada BP terkait persetujuan keputusan investasi final (Final Investment Decision/FID) proyek fasilitas Liquified Natural Gas (LNG) Tangguh Train 3 pada Jumat pekan lalu.
Penyerahan dokumen itu merupakan implementasi surat Plt. Kepala SKK Migas No. SRT-0839/SKKO0000/2014/S2 yang menginstruksikan BP Berau untuk memenuhi industri pupuk di Teluk Bintuni sebesar 180 MMSCFD. Gas bagi industri pupuk di Teluk Bintuni akan didatangkan dari proyek LNG Tangguh Train 3 yang rencananya akan onstream di tahun 2020 dengan kapasitas 3,8 juta ton per tahun (MTPA).
"Nanti, alokasinya akan ada dua tahap, tahap pertama akan sebesar 90 MMSCFD dan tahap kedua juga akan sebesar 90 MMSCFD. Nanti dalam perjalanannya pun tetap akan ada koordinasi dengan SKK Migas terkait hal ini," terang Wiratmaja.
Kawasan Industri Teluk Bintuni yang seluas 2.344 hektare (ha) ini diperuntukkan bagi pengembangan industri petrokimia dan pupuk dengan harapan bisa menyerap investasi sebesar US$10 miliar. Pupuk Indonesia sendiri hanya menggunakan 100 ha atau seluas 4,26 persen dari total luas kawasan industri.
(bir)