Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Pertanian diminta mencabut Peraturan Menteri Nomor 57 Tahun 2015 tentang Pemasukan dan Pengeluaran Bahan Pakan Asal Tumbuhan ke dan dari Wilayah Indonesia jika tidak ingin harga pangan menjadi mahal.
Aturan yang diteken Menteri Pertanian Amran Sulaiman pada 25 November 2015 itu menurut Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri bukan cara yang tepat untuk mendorong produksi jagung di dalam negeri secara cepat. Ia justru khawatir penghentian impor yang dilakukan oleh pemerintah berpotensi membuat harga pangan menjadi mahal dan sulit dijangkau oleh masyarakat, terutama mereka yang berpenghasilan rendah.
"Kedaulatan pangan itu bukan bergantung pada swasembada, tapi pada seberapa mudah masyarakat memperoleh akses pangan. Kelaparan juga terjadi karena masyarakat tidak bisa beli beras. Daya beli juga akan menurun," ujar Faisal dalam riset, dikutip Kamis (14/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Faisal, kisruh harga pangan juga terjadi pada jagung. Ia mencatat harga rerata jagung di pasar internasional pada Desember 2015 sebesar US$163,35 per ton. Dengan kurs Rp13.900 per dolar Amerika Serikat, maka harga jagung di pasar internasional adalah Rp2.279 per kilogram (kg).
Harga jagung di pasar internasional ini terus mengalami penurunan sejak titik tertingginya US$333,05 per ton pada Juli 2012. Dalam 3,5 tahun terakhir harga anjlok sebesar 51 persen. Sebaliknya, harga jagung di pasar domestik merangkak naik. Dewasa ini harga jagung di pasar domestik sekitar Rp6 ribu per kilogram dengan kecenderungan terus merangkak naik.
"Ini membuat konsumen, terutama peternak ayam, menjerit. Akibatnya, harga daging ayam dan telur ayam melambung," kata dia.
Ia juga mempertanyakan klaim Kementerian Pertanian yang menyebut produksi jagung naik dan sudah cukup memenuhi kebutuhan dalam negeri. Kenyataannya, kata dia, jagung langka di pasar sehingga harga melonjak.
"Kalau benar-benar stok jagung cukup, tunjukkan saja di gudang mana? Jika memang kelebihan produksi pada masa panen tentu disimpan, bukan dibuang ke laut. Kalau teknologi pengolahan buruk, masa terjadi di semua komoditas," ujar Faisal.
Ia menjelaskan, harga merupakan interaksi antara penawaran dan permintaan. Harga jagung di pasar internasional, lebih rendah dari harga jagung di dalam negeri. Tanpa pembatasan impor, harga jagung di dalam negeri sama dengan harga jagung di pasar internasional.
"Kekurangan pasokan di dalam negeri ditutupi oleh jagung impor. Karena pemerintah melarang impor jagung, harga di pasar domestik naik. Konsumen di dalam negeri hanya membeli sedikit jagung," jelas dia.
Menurut mantan ketua Tim Reformasi dan Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi (Migas), tugas Kemeterian Pertanian adalah mendorong produksi jagung. Berbagai upaya bisa dilakukan dengan ekstensifikasi lahan, penyediaan bibit unggul lewat riset dan pengembangan, perbaikan teknologi pertanian, dan penataan pascapanen.
"Jika semua itu dilakukan, produksi niscaya naik, petani bertambah sejahtera, dan konsumen memperoleh harga yang pantas. Akhirnya swasembada terwujud, bahkan kita bisa mengekspor jagung," kata Faisal.
"Proses menuju ke sana hampir mustahil dilakukan dalam satu tahun. Tidak bisa seperti membalikkan telapak tangan. Tidak ada jalan pintas seperti yang digembar-gemborkan Menteri Pertanian," imbuhnya.
(gen)