Jakarta, CNN Indonesia -- China mencatatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,7 persen pada kuartal II tahun ini, sama dengan pencapaian kuartal sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi terbesar kedua di dunia tersebut melampaui ekspektasi para analis meskipun dari sisi investasi susut ke level terendah sejak Maret 2000.
Sebelumnya, pertumbuhan ekonomi China diramalkan turun menjadi 6,6 persen pada kuartal II 2016, yang merupakan level terendah dalam tujuh tahun terakhir. Prediksi tersebut merupakan hasil jajak pendapat yang dilakukan Reuters terhadap 61 ekonom.
Biro Statistik China, seperti dikutip dari Reuters, mengakui bahwa perekonomian negaranya masih menghadapi tekanan. Namun, capaian pertumbuhan pada paruh pertama tahun ini bisa menjadi pondasi yang baik untuk mencapai target pertumbuhan tahun ini 6,5 – 7 persen. Pada tahun lalu, perekonomian Negeri Tirai Bambu hanya tumbuh 6,9 persen atau terendah dalam 25 tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kendati demikian, laju ekonomi China masih dibayangi perlambatan. Sasmito Hadi, Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa, Badan Pusat Statistik (BPS) menilai perlambatan ekonomi China merupakan tantangan bagi dunia. Pasalnya, seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia, sudah terbiasa menerima berkah dari pertumbuhan tinggi ekonomi China melalui ekspor.
“Jadi ketika perekonomian China turun sedikit, penurunan demand itu terasa ke seluruh dunia,” ujarnya di kantor pusat BPS, Jumat (15/7).
BPS mencatat, neraca perdangan Indonesia dengan China pada Juni lalu defisit sebesar US$1,48 miliar, menyusul nilai ekspor (US$1,2 miliar) yang lebih dari nilai impor (US$2,69 miliar).
Secara kumulatif, total defisit neraca dagang Indonesia-China pada paruh pertama tahun ini sebesar US$8,87 miliar.
Peluang EkonomiSaat ini, lanjut Sasmito, saatnya bagi pelaku usaha domestik untuk lebih kreatif dalam menyiasati perlambatan perekonomian China. Hal itu dilakukan agar ekspor produk Indonesia bisa lebih diminati di Negeri Tirai Bambu.
Selain meningkatkan kreatifitas, kata Sasmito, eksportir Indonesia juga harus meningkatkan kualitas produk. Tak hanya itu, eksportir nasional juga dituntut untuk jeli dalam melihat segmentasi pasar yang berbeda di setiap daerah di China. Sebagai contoh, ekspor barang bernuansa Islami bisa diperbanyak ke Propinsi Xinjiang yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
“Kemudian, untuk wilayah Beijing dan Shanghai bisa dimasuki produk high-end. Di daerah utara bisa untuk produk pakaian musim dingin,” ujarnya.
Selama ini, lanjut Sasmito, ekspor Indonesia ke China sebagian besar berupa batubara dan minyak kelapa sawit mentah (CPO). Permintaan keduanya juga menurun seiring perlambatan perekonomian China dalam beberapa tahun terakhir.
Namun demikian, China tetap merupakan pasar potensial untuk produk industri olahan mengingat China merupakan perekonomian kedua terbesar di dunia dan memiliki populasi penduduk terbanyak.
“Penduduk China itu sangat besar, ada 1,2 miliar penduduk. Sayang kalau tidak dimanfaatkan dan dimasuki pasarnya,” ujarnya.
(ags)