Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Ketahanan Pangan menyatakan terjadi kekurangan stok atau defisit ketersediaan dua sektor pangan pada tahun 2016, yakni daging dan kedelai.
Menurut Kepala Badan Ketahanan Pangan Gardjita Budi, defisit tersebut terjadi karena tingginya permintaan daging dan kedelai di masyarakat sejak 2015. Sejak awal 2016 hingga saat ini defisit atau kekurangan pasokan kedelai dari hasil produksi dalam negeri mencapai 42 persen sedangkan daging sapi mencapai 33 persen.
Meskipun, jika ditotal, untuk persedian dalam satu tahun defisit tersebut bisa dipenuhi, namun pada bulan-bulan tertentu, tingginya permintaan daging dan kedelai tidak bisa terpenuhi. Defisit, atau kelangkaan daging sapi paling tinggi untuk tahun ini terjadi pada bulan Mei dan Juni, imbasnya kelangkaan menyebabkan tingginya harga daging sapi dipasaran.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Itu mendekati hari raya, sedang dibutuhkan dan tinggi. Kita ada stok daging beku, tapi konsumsi masyarakat Indonesia beda. Lebih suka daging segar,” kata Budi di Jakarta, Rabu (20/7)
Pola konsumsi masyarakat Indonesia yang cenderung memilih daging segar, aih-alih daging beku menurut Budi, menyebabkan sulitnya menentukan stok untuk persedian daging sapi dalam jangka waktu satu tahun. Padahal, menurutnya kelangkaan daging sapi bisa diatasi melalui impor daging, dengan catatan daging yang tersedia merupakan daging beku.
“Stok daging beku banyak, kita ada impor daging juga. Tapi masyarakt tidak suka, hal ini ditambah sulit menentukan berapa banyak stok daging untuk memenuhi kebutuhan masyarakat untuk satu tahun,” katanya.
Mengganti pola konsumsi masyarakat Indonesia terhadap daging sapi menurut Budi tidak mudah. Merubah pola konsumsi daging sapi ke sumber protein lainnya akan sulit diterima masyarakat, komposisi nilai gizi untuk pertimbangan pengganti daging sapi juga menjadi salah satu faktor sulitnya mengganti konsumsi daging sapi ke bahan pangan lainnya,
Dia juga mengatakan, pola konsumsi lemak dan minyak di Indonesia hingga pertengahan tahun 2016 cukup tinggi, hal ini berbanding terbalik dengan konsumsi buah dan sayuran yang justru mengalami penurunan.
“Ini harus diturunkan, bukan hanya berdampak pada kualitas hidup (kesehatan) yang menurun, ketersedian pangan juga harus diperhatikan. Polanya mesti seimbang,” katanya.
(gen)