Ditjen Bea Cukai Diminta Tidak Panik Penerimaan Menukik

Gentur Putro Jati | CNN Indonesia
Kamis, 21 Jul 2016 12:57 WIB
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi sebelumnya memberi sinyal bahwa kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) tahun depan akan dipercepat.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi sebelumnya memberi sinyal bahwa kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) tahun depan akan dipercepat. (REUTERS/Sigit Pamungkas).
Jakarta, CNN Indonesia -- Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) meminta Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tidak panik melihat realisasi penerimaan cukai semester I 2016 yang anjlok 27,26 persen menjadi Rp43,72 triliun.

"Sebenarnya tidak perlu panik. Sebab berdasarkan asumsi perhitungan industri, target itu akan tercapai," ujar Ketua GAPPRI Ismanu Soemiran, Kamis (21/7).

Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi sebelumnya memberi sinyal bahwa kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) tahun depan akan dipercepat, menyusul naiknya target penerimaan cukai hasil tembakau dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2016 menjadi Rp141,7 triliun.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ismanu menegaskan, para pelaku Industri Hasil Tembakau (IHT) tetap berkomitmen mendukung pemerintah dalam membiayai program negara meski kondisi industri juga semakin berat.

"Tidak perlu mengadakan kebijakan yang ekstrim, seperti dengan bahasa percepatan dan sebagainya. Karena industri tembakau sudah menghitung, target cukai akan tercapai sesuai APBNP. Yang harus dijaga itu volume jangan sampai turun," ujarnya.

Ismanu menilai pemerintah justru akan melakukan blunder ketika menyikapi penerimaan cukai yang anjlok dengan mempercepat menaikkan tarif cukai. Padahal, produksi dan konsumsi masih dalam jalur yang direncanakan.

Ia menjelaskan, anjloknya penerimaan cukai justru akibat ulah pemerintah sendiri yang menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 20 Tahun 2015 tentang Penundaan Pembayaran Cukai untuk Pengusaha Pabrik atau Importir Barang Kena Cukai yang Melaksanakan Pelunasan dengan Cara Pelekatan Pita Cukai.

Beleid itu mewajibkan industri untuk melunasi pita cukai yang dipesan sepanjang 2015 sebelum 31 Desember 2015, dari yang sebelumnya bisa dilunasi mundur paling lambat dua bulan atau pada Februari 2016.

“Efeknya, di Januari setoran kosong,” tegas Ismanu.

Namun, ia mengakui secara umum kondisi industri rokok masih lemah dan belum stabil. Kondisi ini disikapi pelaku industri dengan mengubah produk Sigaret Kretek Tangan (SKT) ke Sigaret Kretek Mesin (SKM) karena lebih padat modal dan efisien. Pergeseran ini juga pada akhirnya akan ikut mengerek penerimaan negara karena cukai SKM lebih tinggi ketimbang SKT.

“Nah, siklus pasar bagus itu akan terjadi pada kuartal IV dan sekarang tren peak itu sudah mulai terasa sehingga Ditjen Bea Cukai tidak perlu khawatir,” katanya.

Ismanu memberi contoh Malaysia, ketika produksi rokok menurun justru kebijakan yang diambil pemerintah negeri Jiran adalah menaikkan cukai 33 persen yang membuat pelaku industri benar-benar rontok. Selain pendapatan tidak tercapai, di tahun-tahun berikutnya banyak industri berguguran dan tidak bisa kembali berproduksi.

"Kalau dipercepat akan terjadi kerusakan di tahun-tahun berikutnya. Kami berharap Kementerian Keuangan bersama Dirjen Bea Cukai untuk serius memelihara keberadaan IHT karena besaran kontribusi ke APBN. Sehingga terjadi hubungan yang simbiosis mutualis, agar IHT tetap lestari," katanya.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati mewanti-wanti pemerintah untuk tidak terus menerus mengejar cukai dari tembakau. Lebih baik kreatif melakukan ekstensifikasi. Bila fokus pada penambahan di industri hasil tembakau, sangat sulit. Industri tembakau terlalu dipaksa mengejar target dari pemerintah.

"Awal mulanya karena PMK 20 Tahun 2015 yang mewajibkan industri membayar 14 bulan untuk mencapai target, dan kondisi ini jadi terus-menerus terjadi untuk menutup kekosongan itu. Padahal kondisi industri kurang baik," tegas Enny.

Pemerintah juga harus mengharmonikan regulasi industri jika ingin target-target penerimaan bisa tercapai. "Jika semua konsisten tidak ada saling gesek, industri lebih nyaman. Sekarang kalau kemudian misal ada anak kecil merokok ya bukan industri yang salah. Itu kegagalan pemerintah dalam menjaga distribusi rokok," tegas Enny. (gen)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER