Jakarta, CNN Indonesia -- Keputusan Presiden Joko Widodo untuk membebaskan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap komoditas pangan strategis rupanya menimbulkan respon dari sejumlah kalangan agar kebijakan ini dapat ditinjau kembali.
Direktur Utama Badan Urusan Logistik (Bulog) Djarot Kusumayakti menilai pembebasan pengenaan PPN pada komoditas pangan strategis merupakan hal yang tepat, terutama untuk komoditas beras.
"Beras itu komoditas strategis yang dibutuhkan semua masyarakat jadi tentu ini tepat karena masyarakat tentu sengsara jika sehari-hari konsumsi beras tapi dikenakan PPN," ungkap Djarot kepada
CNNIndonesia.com, Jumat (22/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, Djarot menyarankan agar pemerintah dapat terus meninjau kebijakan pembebasan PPN terhadap komoditas pangan yang lain, termasuk komoditas pangan non-strategis.
"Kalau bisa nantinya semua komoditas pangan bisa dibebaskan dari PPN ini karena semua komoditas pangan sebenarnya dikonsumsi oleh masyarakat, hanya saja jumlah konsumsinya yang berbeda-beda sehingga membuat munculnya kelompok strategis dan yang tidak," jelas Djarot.
Ia juga menilai pembebasan pengenaan PPN kepada komoditas non-strategis penting dilakukan karena sangat berdampak pada keinginan pemerintah agar masyarakat dapat melakukan subtitusi konsumsi pangan, misalnya pangan yang mengandung karbohidrat, seperti mengganti beras dengan jagung atau singkong. Padahal komoditas singkong saat ini masih masuk kategori komoditas pangan yang dikenakan PPN.
"Misalnya rencana agar yang konsumsi beras bisa beralih ke singkong tapi singkong dikenakan PPN. Ini tentu menghambat keinginan pemerintah untuk subtitusi konsumsi pangan," katanya.
Dari kalangan pengusaha, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menilai kebijakan PPN harus kembali ditinjau pemerintah. Pasalnya, di pasar, masih ada komoditas strategis yang telah dinyatakan bebas pungutan PPN, namun masih ada saja ditarik PPN atas komoditas tersebut.
Wakil Ketua Aprindo Tutum Rahanta menyebutkan, salah satunya adalah komoditas beras. Ia mengatakan bahwa saat ini, masih ada pengenaan PPN terhadap beras curah yang seharusnya tidak dikenakan pungutan PPN.
"Sekarang beras saja beda-beda, beras yang curah tidak dikenakan, yang sudah dikemas dikenakan. Padahal keduanya beras dan beras mempengaruhi hajat orang banyak," ujar Tutum saat dihubungi.
Tak hanya itu, menurut Tutum, saat ini ada beberapa supermarket yang menjual beras curah, namun telah dikemas dan dikenakan PPN.
"Harusnya curah bebas pajak tapi kalau di supermarket dijual beras curah yang dikemas tetap dikenakan pajak karena itu hasil industri. Ini jadi tidak jelas, pengenaan pajak seharusnya karena penggolongan produk atau aktivitas yang mempengaruhi produk," tuturnya.
Dari sini, Tutum meminta agar pemerintah kembali mengkaji kebijakan pemungutan dan pembebasan PPN pada komoditas pangan. Sebab Aprindo menilai bahwa pemerintah hanya berusaha mencari pintu-pintu penerimaan pajak, namun tidak memberikan perhitungan yang jelas.
"Kalau ditambah 10 persen berat sekali apalagi untuk komoditas yang sehari-hari dikonsumsi. Jadi, pemerintah harus menghitung porsi konsumsi di masyarakat, aksesnya hingga dampak pada daya beli masyarakat," jelas Tutum.
(gir)