Jakarta, CNN Indonesia -- Mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan meningkatnya ketimpangan masyarakat Indonesia merupakan kekhawatiran terbesarnya saat ini. Hal tersebut tercermin dari melebarnya angka indikator kesenjangan (koefisien gini) Indonesia secara tajam selama periode 2003-2014 dari 0,3 menjadi 0,41.
“Suatu negara yang memiliki koefisien gini yang sangat tinggi atau ketimpangan yang sangat tinggi bisa melemahkan kemampuan negara itu untuk tumbuh dalam jangka panjang,” ujar Sri Mulyani, Selasa (26/7).
Menurut Ani, sapaan akrabnya, ketimpangan di Indonesia banyak ditentukan oleh hal-hal yang di luar kendali pihak yang lemah secara ekonomi. Dengan kata lain, ketimpangan tidak hanya sekedar dari kesenjangan pendapatan tetapi juga berasal dari ketimpangan peluang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia merinci, berdasarkan penelitian Bank Dunia, sepertiga dari ketimpangan di Indonesia disebabkan oleh empat faktor pada saat seseorang lahir yaitu provinsi tempat lahir, tempat lahir di desa atau di kota, peranan kepala keluarga, dan tingkat pendidikan orang tua.
“Anak-anak Indonesia yang lahir dengan ketimpangan tersebut akan sulit mengatasi ketimpangan di masa depannya,” ujar Managing Director merangkap Chief Operating Officer Bank Dunia ini.
Lebih lanjut, Ani meminta ketidakadilan tersebut segera diatasi sehingga dimanapun seorang bayi lahir, bayi tersebut berhak mendapatkan fasilitas kesehatan, pendidikan, dan pelayanan dasar.
Oleh karenanya, pemerintah perlu melakukan pemerataan dalam memberikan layanan kesehatan, pendidikan, serta fasilitas dasar di seluruh Indonesia.
“Cita-cita Indonesia adalah
wherever you’re born, di mana saja kalian lahir, di provinsi mana, di desa atau di kota idealnya bisa mendapatkan layanan kesehatan, pendidikan, dan
basic services sehingga bisa menjadi bayi yang sehat dan mampu tidak hanya mengurus diri sendiri tetapi juga berkontribusi kepada masyarakat,” ucapnya.
Ketimpangan GenderSelain itu, Ani juga meminta Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) untuk mengatasi ketimpangan yang dialami oleh perempuan dan anak perempuan. Menurutnya, Indonesia belum memanfaatkan secara optimal potensinya terkait ketenagakerjaan yang melibatkan semua penduduk, baik perempuan dan laki-laki.
Sebagai ilustrasi, hanya 51 persen perempuan Indonesia yang berusia 15 tahun ke atas yang menjadi bagian dari tenaga kerja. Rasio ini lebih rendah dari rata-rata Asia Timur dan Pasifik, yaitu 63 persen. Sementara, partisipasi tenaga kerja laki-laki mencapai lebih dari 80 persen.
Selain itu, menurut laporan terkini Global Gender Gap oleh World Economic Forum, Indonesia menduduki peringkat 114 dari 145 negara terkait tingkat partisipasi dan peluang perekonomian perempuan.
Padahal, ketimpangan peluang perempuan dan anak perempuan berdampak pada kemajuan perekonomian.
“Ketimpangan peluang bagi perempuan dan anak perempuan berdampak langsung pada peluang ekonomi mereka dan, secara tidak langsung, kemampuan untuk mengambil keputusan yang bisa mempengaruhi kehidupan mereka dan keluarga mereka,” ujarnya.
(gen)