Jakarta, CNN Indonesia -- Kepala Ekonom PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) Tbk, Anggito Abimanyu menilai transparansi keuangan negara sudah jauh lebih baik dibandingkan dengan sebelum Undang-Undang Keuangan Negara terbit pada 2003. Reformasi birokrasi yang diterapkan Kementerian Keuangan dinilai Mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) itu sebagai contoh sukses kebijakan transparansi pengelolaan keuangan negara.
"Reformasi birokrasi (di Kemenkeu) sudah lebih baik, terutama dalam hal penganggaran, subsidi dan pembiayaan. Cuma masih masalah di sektor perpajakan karena
tax ratio-nya mandek sejak 2010," ujarnya kepada CNN Indonesia, Senin (14/9).
Dengan pengalaman bertahun-tahun sebagai pejabat publik, Anggito menilai tidak sulit untuk menerapkan transparansi keuangan karena payung hukumnya sudah jelas. Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara merupakan induk dari semua produk hukum yang bisa jadi rujukan pemerintah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Reformasi birokrasi di (Direktorat Jenderal) Pajak sebenarnya tidak sulit, asal sesuai
benchmark (acuan negara lain) baik dari sisi sumber daya manusia,
policy, dan sistem informasi teknologi," tuturnya.
Tidak Ada Tekanan
Anggito merasa selama dirinya menjalankan kebijakan reformasi anggaran tidak terlalu banyak tekanan-tekanan dari eksternal yang membebani tugas-tugasnya sebagai pejabat negara. Hal ini bertolak belakang dengan yang dirasakan oleh mantan bosnya di Kemenkeu, Sri Mulyani Idnrawati.
Sri Mulyani yang mengaku ketika menjadi Menteri Keuangan mendapatkan tantangan dan tekanan hebat dari elite dan kelompok tertentu ketika berupaya menegakkan transparansi keuangan. Tekanan-tekanan itu yang pada akhirnya membuat Direktur Pelaksana Bank Dunia itu memutuskan untuk meletakan jabatannya sebagai Menkeu pada medio 2010.
(Baca: Sri Mulyani Curhat Soal Tekanan Elite Ketika Jadi Menkeu SBY)
Bailout Bank CenturyContoh kasus ketika Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) menyuntik dana talangan (
bailout) ke Bank Century yang kesulitan likuiditas. Sri Mulyani selaku ketua KSSK pada waktu itu merasa dijadikan "kambing hitam" meski kebijakan itu diklaimnya berhasil menghindarkan Indonesia dari krisis keuangan pada 2008.
Saat rapat KSSK terkait bailout Bank Century pada 21 November 2008, hanya Sri Mulyani Indrawati dan Boediono selaku Mantan Ketua dan Anggota KKSK yang memutuskan pemberian dana talangan. Namun, sebelum keputusan dibuat keduanya mengundang sejumlah tokoh untuk dimintai pendapat.
Dalam cuplikan video rekaman rapat terbatas, tampak hadir Mantan Sekretaris KKSK Raden Pardede, Mantan Ketua UKP3R Marsilam Simanjuntak, Konsultan Hukum Depkeu Arif Surowijoyo, Ketua LPS Firdaus Jaelani, Sekjen Depkeu Mulia Nasution, Ditjen Pengelolaan Utang Rahmat Waluyanto, Kepala BKF Anggito Abimanyu, Mantan Deputi Gubernur Senior BI Miranda Goeltoem Swaray, Deputi Gubernur BI Siti Fadjrijah dan Halim Alamsyah, serta Direktur Utama Bank Mandiri Agus D.W. Martowardojo.
Anggito Abimanyu menilai KSSK dalam menangani permasalahan keuangan Bank Century kurang mengedepankan prinsip kehati-hatian (
prudence). Menurutnya, masalah likuiditas Bank Century merupakan kasus kecil yang seharusnya bisa diantisipasi dan ditangani dengan cepat dan tegas.
"Century itu kasus kecil sebenarnya, tapi tidak jelas soal pengawasan dan komunikasinya sehingga kurang
prudence. Ini kasus kecil yang ditangani kurang cepat, proses mergernya juga kurang tegas sehingga jadi gunung es," tuturnya.
Menurutnya, tidak ada yang salah dengan respon kebijakan KSSK terkait kasus Bank Century. Namun, pelaporan masalahnya oleh otoritas terkait dinilai terlambat. Begitu pula dengan pengawasan
pasca-bailout dan proses merger bank tersebut dianggap Anggito kurang baik.
(ags/gen)