Tranformasi Ekonomi Global di Mata Sri Mulyani Indrawati

Dinda Audriene & Agust Supriadi | CNN Indonesia
Rabu, 10 Agu 2016 12:00 WIB
Krisis keuangan 1997-1998 dan 2008-2009 menjadi titik balik yang mengubah konstelasi ekonomi global. Indonesia selamat berkat populasi penduduk muda produktif.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan kuliah umum di Auditorium Djoko Soetono Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Depok, Jawa Barat, Selasa (26/7). (Antara Foto/Yulius Satria Wijaya)
Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada hari ini, Rabu (9/8) didaulat sebagai pembicara kunci pada peringatan 39 tahun diaktifkannya kembali pasar modal Indonesia.

Dalam pidatonya, Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu mengungkapkan pandangannnya mengenai perkembangan ekonomi global, termasuk Indonesia di dalamnya.

Krisis keuangan Asia pada 1997-1998 dan krisis Amerika dan Eropa pada 2008-2009 disebut Sri Mulyani sebagai puncak peristiwa yang mengubah konstelasi ekonomi global. Banyak negara sampai saat ini masih berkutat pada upaya pemulihan ekonominya masing-masing.  

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ada yang masih little bit behind, ada yang masih jauh (dari pulih)," ujar Sri Mulyani.

Amerika Serikat (AS), menurutnya, negara yang pulih paling kuat dan paling cepat pada saat ini. Sementara negara-negara Eropa, pemulihannya bervariasi.

Dari Asia, Sri Mulyani menyoroti keampuhan kebijakan pembalikan keadaan (counter cyclical) yang dilakukan oleh Pemerintah China ketika krisis keuangan melanda dunia. Kebijakan tersebut dinilai efektif membalikan keadaan dan perekonomian Negeri Panda melaju paling pesat di bandingkan negara lain di dunia pasca krisis 1997-1998 dan 2008-2009.


Kombinasi kebijakan moneter dan fiskal, kata Sri Mulyani, menjadi resep jitu China untuk terbebas dari dampak krisis. Dari sisi moneter, kebijakan devaluasi mata uang  dilakukan untuk menjaga nilai tukar yuan tidak terlalu kompetitif dibandingkan mata uang negara-negara mitra dagangnya di kawasan Asia.

"China melakukan competitive devaluation karena orientasinya (ekonomi) sangat ekspor," tuturnya.  

Dari sisi fiskal, lanjut Menkeu, kebijakan ekspansi belanja juga pernah dilakukan China untuk membalikan keadaan ketika sejumlah negara maju di belahan benua lain tengah dilanda krisis utang. Kebijakan counter cyclical itu kemudian masif dilakukan negara-negara berkembang lain pada periode 2009-2013.

Jangan Jumawa

Hasilnya, perekonomian negara-negara berkembang pun cemerlang berkat di saat negara-negara maju justru sedang terpuruk. Brasil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan (BRICS), termasuk Indonesia, masuk dalam deretan negara yang gagah ekonominya pada saat itu.

"Tone negara-negara emerging, seperti BRICS itu, mereka seperti jumawa karena ekonomi negara maju negatif. Sementara mereka growth-nya tinggi. Itu bertahan sekitar tiga tahun," ucap Sri Mulyani.

Situasi ekonomi dunia pun berubah pada akhir 2013 atau memasuki 2014, saat stimulus ekonomi negara-negara berkembang kehabisan energi. Masalah baru muncul, defisit anggaran membengkak dan banyak negara akhirnya terjerat utang.


China yang perkasa, kata Sri Mulyani, pada akhirnya mulai merasakan dampak dari perlambatan perdagangan dunia yang tidak pernah pulih sejak 2008-2009.

Sementara Indonesia yang pertumbuhan ekonominya sangat bagus pada kuartal II lalu, ternyata tidak didukung oleh perdagangan antarnegara karena kinerja ekspor dan impornya masih negatif.

Konsolidasi ekonomi pun dilakukan di banyak negara untuk mendisain ulang struktur ekonominya. China, misalnya, mengubah komposisi ekonominya dari yang selama ini mengandalkan ekspor dan investasi menjadi menghamba pada konsumsi domestik.

"Kelihatannya gampang kalau dari equation ekonomi. Tapi when you talk about changing from investment to consumption, semua berubah. Excess capacity di berbagai bidang, NPL (kredit macet), dan sebagainya (menjadi masalah baru)," tutur Menkeu.  

Cerita Kampung Sendiri

Indonesia, kata Sri Mulyani, tidak terlepas dari konteks ekonomi global dan regional. Ditopang oleh populasi penduduk yang tinggi dan mayoritas orang muda, Indonesia saat ini masuk dalam daftar 20 ekonomi terbesar di dunia berkat bonus demografi. 

Sebaliknya dengan China, yang tengah dihantui oleh bencana demografi menyusul kebijakan satu anak (one child policy) sejak empat dekade lalu. Kelihatanya jumlah penduduk besar, tapi komposisi demografinya rapuh.

"China itu labour-nya shrinking karena dua manusia hanya menghasilkan satu manusia. Singapura juga struggle seperti itu, mem-promote supaya orang jangan kerja terus, tapi nikah," jelasnya.

Semua negara, lanjut Sri Mulyani, akan mengalami perubahan demografi. Indonesia salah satunya, yang disebut-sebut akan dibanjiri angkatan muda hingga 2020. Untuk itu, ia menganjurkan agar generasi muda mengubah cara berpikirnya agar membentuk formasi demografi yang berbeda dibandingkan negara lain. Dan itu baru akan terlihat dampaknya dalam lima hingga 10 tahun ke depan dari sikap yang ditunjukkan generasi muda Indonesia pada hari ini.

"Oleh karena itu, policy untuk menjadi penduduk yang produktif sangat penting. Manusia itu harus jadi aset," tegasnya.

(ags)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER