Jakarta, CNN Indonesia -- Institute for Development of Economics and Finance (Indef) meminta pemerintah untuk tidak meningkatkan risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) industri rokok, apabila Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menjalankan amanat Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk mengevaluasi ulang sektor kepabeanan dan cukai demi menambah penerimaan.
Direktur Eksekutif Indef Enny Sri Hartati menilai jika evaluasi tersebut berujung pada keputusan menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT), maka kebijakan itu hanya akan menimbulkan dampak negatif bagi para pekerja sektor tersebut.
“Kebijakan kenaikan cukai pasti akan memukul industri rokok. Ujung-ujungnya bisa terjadi PHK,” jelas Enny, Selasa (16/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Enny menuturkan, CHT memberi kontribusi luar biasa kepada negara yang mengalahkan sektor industri lain. Ia kembali mengingatkan, ruh utama penerapan cukai adalah untuk pengendalian bukan untuk menggenjot penerimaan.
Menurutnya jika industri hasil tembakau (IHT) terus dikejar-kejar pemerintah untuk menambah penerimaan negara, dikhawatirkan bisa menimbulkan kejenuhan. Oleh karena itu, ia menilai ekstensifikasi objek cukai menjadi sangat penting.
"Sekarang kan baru alkohol dan IHT, mengapa misal pajak kendaraan, kan itu juga untuk fungsi pengendalian lingkungan, itu bisa dialihkan ke cukai," tegasnya.
Sebelumnya Staf Ahli bidang Organisasi, Birokrasi, dan Teknologi Informasi Kementerian Keuangan Susiwijono
mengemukakan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sudah memberi pesan agar dalam menyusun kenaikan tarif, seperti pajak dan cukai, tidak hanya mengejar dari sisi penerimaan negara tetapi juga memperhatikan keberlangsungan industri tembakau.
Dalam konteks ini, kata dia, Kemenkeu tidak melulu mengusung pendekatan penerimaan negara namun juga memperhatikan laju industri dan pertumbuhan ekonomi.
"Ini yang dipesankan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani,” jelas Susiwijono, Kamis (11/8) pekan lalu.
Menurut Susiwijono, jika porsi penerimaan terus digenjot, dikhawatikan justru tidak konstruktif di tengah perlambatan ekonomi.
"Pada saat bicara rencana kebijakan tarif cukai ke depan mempertimbangkan ekonomi dimana di dalamnya ada industri tembakau. Industri ini sudah besar, angka cukai Rp150 triliun. Cukai minuman beralkohol sehebat apapun paling tinggi Rp5 triliun," ujarnya.
Ia menegaskan, kontribusi CHT tidak tergantikan. Saat ruang fiskal menyempit seperti sekarang ini, pemerintah dipastikan akan menghormati betul besarnya penerimaan cukai dari tembakau.
Berdasarkan keterangan resmi Kemenkeu yang dikutip Selasa (16/8), realisasi penerimaan per 5 Agustus 2016 tercatat sebesar Rp775,2 triliun atau 43,4 persen dari target Rp1.786,2 triliun. Sementara, realisasi belanja negara telah mencapai Rp1.037,6 triliun atau 49,8 persen dari pagu Rp2.082,9 triliun.
Hal inilah yang membuat Menteri Keuangan menginstruksikan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melakukan enam langkah guna meningkatkan penerimaan:
1. Melakukan audit ulang kepabeanan dan cukai.
2. Menegakkan ketentuan tarif terkait FTA.
3. Melakukan pembarian profil importir dan pengusaha barang kena cukai (BKC) secara periodik.
4. Mendorong pemanfaatan voluntary declaration.
5. Melakukan pengawasan bersama dengan Ditjen Pajak.
6. Melakukan uji eksistensi dan kapasitas produksi perusahaan BKC.
Realisasi penerimaan dari sektor bea dan cukai sendiri sampai 5 Agustus 2016 telah mencapai Rp76,2 triliun atau 41,4 persen dari target Rp184 triliun.
(gen)