Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan mempercayakan perencanaan proyek kilang minyak di Bontang, Kalimantan Timur kepada International Finance Corporation (IFC).
Sebagai kompensasinya, Kemenkeu akan membayar upah ke lembaga internasional di bawah Bank Dunia itu, dengan estimasi biaya retensi dan biaya keberhasilan (
success fee) sekitar 2-3 persen dari total nilai proyek kilang.
Robert Pakpahan, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu menjelaskan, ada tiga opsi pengelolaan kilang minyak di Indonesia. Pertama, yakni: (1) bisa dikerjakan oleh PT Pertamina (Persero); (2) dikerjasamakan dengan swasta; atau (3) Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) atau
Public Private Partnership (PPP).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Khusus untuk PPP, Kemenkeu dapat tugas untuk memberi fasilitas penyiapan proyeknya," jelas Robert kepada
CNNIndonesia.com di ruang kerjanya, Senin (5/9).
Penyiapan fasilitas ini, jelas Robert, hanya mencakup perencanaan proyek, mulai dari menyusun pra studi kelayakan (
Pre Feasibility study), studi kelayakan (
Feasibility study), hingga jadi dokumen rancangan proyek siap tender.
"Jadi bukan pengelolaannya diserahkan ke lembaga internasional, tetapi pelaksanaan fasilitas perencanaan proyeknya. Nanti hasilnya baru ditenderkan ke swasta domestik atau asing," jelas Robert.
Proyek kilang minyak di Bontang, kata Robert, merupakan salah satu proyek pemerintah yang akan dimitrakan dengan swasta (KPBU/PPP) yang sebelum ditenderkan perlu disusun paket spesifikasi proyeknya. Selain spesifikasi proyek yang dibutuhkan, paket dokumen rancangan proyek kilang Bontang tersebut juga akan memasukkan fasilitas penjaminan dan kebutuhan biaya konsesi yang diperlukan.
"Tidak ada orang indonesia yang bisa bikin Pre FS (
Pre Feasibility study), FS (
Feasibility study) sampai jadi dokumen (siap tender), karena butuh ilmu yang banyak," tuturnya.
Butuh Dua tahunFreddy Saragih, Direktur Pengelolaan Dukungan Pemerintah dan Pembiayaan Infrastruktur Kemenkeu menjelaskan, alasan ditunjuknya IFC sebagai calon tunggal perancang proyek kilang Bontang karena lembaga internasional itu mengerti konsep yang dibutuhkan oleh perusahana migas swasta.
"Bisa juga pemerintah menunjuk konsultan seperti Pwc atau siapa, tapi Perpres Nomor 146 Tahun 2015 mengatakan bisa dikerjasamakan dengan lembaga internasional. Kenapa kita pilih IFC, karena kita anggota dan hampir semua negara anggota Bank Dunia melibatkan IFC dalam proyek kilang minyaknya," jelas Freddy.
IFC, kata Freddy, punya portfolio dan rekam jejak yang bagus dalam perencanaan proyek KPBU berskala besar. Contoh proyek KPBU yang dirancang IFC adalah Pembangklit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Batang, Jawa Tengah.
"Proyek KPBU (PLTU) Batang di Jateng juga dibantu oleh IFC. Setelah mereka kerja, (pemerintah menilai) kelihatannya untuk proyek (kilang Bontang) di atas Rp240 triliun cenderung memilih pakai jasa mereka," jelasnya.
Namun, lanjut Freddy, untuk menugaskan IFC dalam menyusun studi kelayakan proyek tersebut tidak bisa melalui tender. Pasalnya, IFC merupakan lembaga non profit yang dibentuk untuk membantu negara-negara anggotanya.
Untuk itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 265/PMK.08/2015 tentang Fasilitas Dalam Rangka Penyiapan dan Pelaksanaan Transaksi Proyek Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.
Dalam PMK tersebut, kata Freddy, diatur skema pembayaran biaya retensi dan biaya keberhasilan untuk lembaga internasional dalam pelaksanana fasilitas perencanaan proyek kilang minyak. Terkait penunjukkan IFC dalam perencanaan kilang Bontang, PT pertamina (persero) sebagai Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK) akan menalangi dahulu biaya-biaya tersebut untuk kemudian diklaim ke Kementerian Keuangan.
"Saat ini prosesnya sedang berjalan. Pertamina dan IFC sedang negosiasi harga untuk bikin studi kelayakan dan biaya retensinya berapa. Setelah mereka sepakat baru Pertamina ketemu Menkeu untuk mendapatkan persetujuan," tuturnya.
Dia memperkirakan, IFC baru bisa melaksanakan tugas perencanan proyek kilang Bontang pada tahun depan. Untuk proses perancangan proyeknya diperkirakan memakan waktu dua tahun.
"Sebenarnya yang saya dengan mereka (IFC) butuh 24 bulan untuk buat bikin studi kelayakan karena sangat kompleks. Ini hanya untuk satu kilang, di Bontang yang niulainya sekitar Rp200-Rp240 triliun," jelas Freddy.
Dengan demikian, lanjut Freddy, paket rancangan proyek kilang minyak Bontang kemungkinan baru bisa ditenderkan setelah 2019 ke pihak swasta, domestik maupun asing.
"Kalau bercermin dari proyek KPBU (PLTU Batang) di Jateng,
retention fee dan
success fee itu kira-kira di bawah 3 persen dari nilai proyek. Itu menjadi
benchmark kita. Kalau nilainya besar seperti ini, mungkin sekitar 2 persen," jelas Freedy.
(ags)