Jakarta, CNN Indonesia -- Mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi Faisal Basri mempertanyakan cara pandang pemerintah yang berani memastikan harga gas bumi bisa turun dengan pembentukan induk badan usaha milik negara (BUMN) sektor energi.
Sebelumnya, Menteri BUMN Rini Soemarno berulang kali menyatakan harga gas bisa ditekan jika PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) menjadi anak usaha PT Pertamina (Persero) dalam struktur
holding BUMN energi.
"Asal bunyi dan justru memanfaatkan kerumitan bisnis gas sebagai pembenaran untuk membentuk
holding BUMN migas," ungkap Faisal, Selasa (6/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Faisal, tingginya harga gas bumi sudah dikeluhkan pelaku industri pengguna gas selama bertahun-tahun. Namun nyatanya hingga sampai saat ini pemerintah belum bisa menyediakan obat mujarab untuk menyelesaikan keluhan tersebut.
"Padahal akar masalah semua ini adalah bisnis gas dijadikan bancakan oleh para pemburu rente alias para
trader gas yang tidak memiliki modal infrastruktur gas,
trader ini memiliki kedekatan dengan lingkaran kekuasaan sehingga bisa mendapatkan alokasi gas," ujarnya.
Faisal mencontohkan gas yang dibeli PT Torabika dari sumur gas di Bekasi.
Trader pertama yang mendapatkannya adalah PT Odira. Pemasok pertama ini menjual kepada
trader PT Mutiara Energi dengan harga US$9 per MMBTU.
Selanjutnya, PT Mutiara Energi memindahtangankan gas ke PT Berkah Usaha Energi seharga US$11,75 per MMBTU dengan menggunakan pipa open access 24" milik Pertagas dengan toll fee sebesar US$0,22 per MMBTU. Dengan demikian PT Mutiara Energi memperoleh margin US$2,53 per MMBTU tanpa bersusah payah membangun infrastruktur pipa.
PT Berkah Usaha Energi membangun pipa 12" sepanjang 950 meter untuk menyalurkan gas kepada
trader berikutnya, yaitu PT Gazcom Energi dengan harga US$12,25 per MMBTU. Berarti PT Berkah Usaha Energi memperoleh margin US$0,5 per MMBTU dengan hanya membangun pipa tak sampai 1 (satu) km.
Dengan membangun pipa 6" sepanjang hanya 182 meter, PT Gazcom menjual gas miliknya kepada pembeli akhir PT Torabika dengan harga US$14,5 per MMBTU. Pipa sependek itu menghasilkan margin US$2,25 per MMBTU.
“Masih ada lebih dari 50
trader lainnya yang berburu rente di bisnis gas. Pada umumnya perusahaan dagang yang kebanyakan sekadar calo itu dimiliki oleh orang yang dekat dengan kekuasaan serta para pensiunan pejabat. Saya memiliki daftar komisaris dan direksi perusahaan
trader itu,” kata Faisal.
Sokongan PertagasCelakanya, Faisal menyebut kiprah dan bisnis
trader-
trader gas seperti ini semakin subur apalagi mendapatkan sokongan dari PT Pertamina Gas (Pertagas), anak usaha Pertamina. Pasalnya 88,5 persen alokasi gas yang dimiliki Pertagas justru diberikan kepada
trader gas.
"Dari data laporan keuangan Pertagas terakhir yang bisa diakses oleh publik yakni pada tahun 2014, jumlah gas yang dijual langsung oleh Pertagas hanya 11,5 persen, yaitu ke PT Pupuk Sriwijaya (Persero) sebesar 4.230 BBTU dan ke PT Arwana AK sebesar 485 BBTU. Selebihnya, sebanyak 36.264 BBTU atau 88,5 persen dijual kepada 19
trader," ungkap Faisal.
Dari kondisi itu, muncul pertanyaan dari staf pengajar di Universitas Indonesia tersebut apakah
holding migas merupakan kebijakan yang tepat? Di mana PGN justru menjadi anak usaha Pertamina.
Sementara sejak terbentuknya Pertagas pada 2007 silam, kekisruhan pembangunan infrastruktur gas bumi marak terjadi. Contoh PGN membangun pipa gas di Muara Karang-Muara Bekasi, hal yang sama juga ditiru Pertagas dengan membangun pipa Muara Karang-Muara Tawar. Contoh lainnya, PGN mau membangun pipa di ruas Duri-Dumai, hal yang sama juga dilakukan Pertagas.
Sementara Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian ESDM I Gusti Nyoman Wiratmaja mengakui masih banyak perusahaan
trader gas di Indonesia yang masih aktif berbisnis meski tak punya infrastruktur.
“Seharusnya punya infrastruktur dan berkomitmen membangun infrastruktur gas, tidak hanya harus punya," ujar Wiratmaja.
Ia menyebut Peraturan Menteri ESDM Nomor 6 tahun 2016 yang sempat diterbitkan mantan Menteri Sudirman Said tidak sepenuhnya menghilangkan praktik-praktik percaloan gas oleh
trader-trader nakal karena tidak berlaku surut.
Calo-calo yang sudah mendapatkan jatah gas sejak sebelum aturan diterbitkan, yaitu sebelum Maret 2016, tetap bisa beroperasi seperti biasa. Aturan hanya melarang pemberian jatah gas untuk
trader bermodal kertas setelah Maret 2016.
Aturan tersebut memberikan waktu 2 tahun agar para
trader dapat membangun infrastruktur. Maka hingga 2 tahun ke depan, mereka masih bisa menjalankan bisnis percaloannya.
"Dunia bisnis kan butuh kepastian. Kalau kita bikin aturan ngobok-ngobok yang sudah 100 tahun lalu, bagaimana dunia bisnisnya? Itu kita tata, ada masa transisi 2 tahun. Aturan itu ada transisinya," ujarnya.
(gen)