Jakarta, CNN Indonesia -- Bank Indonesia (BI) kembali memperkirakan neraca perdagangan Agustus mengalami surplus sekitar US$150 juta karena peningkatan ekspor yang cukup tinggi.
"Ekspor meningkat cukup tinggi, tapi impor juga meningkat. Ini menandakan produksi dalam negeri mengalami peningkatan. Tidak hanya untuk konsumsi [masyarakat], tapi untuk bahan baku juga usaha juga," ungkap Deputi Gubernur BI, Perry Warjio di Kompleks Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Selasa (13/9).
Terkait ekspor, Perry mengatakan, peningkatan ekspor memang tidak signifikan bila dibandingkan dengan realisasi ekspor Juli 2016 yang mencapai US$598,3 juta. Namun, ekspor mengalami perbaikan, baik dari sisi komoditas maupun hasil industri manufaktur.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Permintaan akan produk mesin dan produk kimia meningkat. Ini menandakan adanya kinerja yang cukup baik terhadap ekspor manufaktur, juga
palm oil," jelas Perry.
Adapun faktor lain yang memicu peningkatan ekspor, yakni perbaikan harga komoditas tambang dan pertanian. Pasalnya, sebagian besar peningkatan ekspor berasal dari sektor non migas.
Selanjutnya, dari sisi impor, Perry mengharapkan, peningkatan impor tidak disalahartikan sebagai tolak ukur keburukan komoditas dalam negeri yang tak bisa memenuhi kebutuhan, namun sebagai tolak ukur bahwa dunia usaha mulai menggeliat.
"Kenaikan impor khususnya bahan baku merupakan pertanda bahwa kegiatan produksi mengalami peningkatan dan dunia usaha mulai meningkatkan produksinya," ujar Perry.
Pasalnya, menurut Perry, impor yang dilakukan pengusaha menandakan adanya optimisme pengusaha akan meningkatnya permintaan dari konsumen.
Kemudian, peningkatan ekspor yang diimbangi oleh peningkatan impor dinilai Perry sebagai hal yang wajar karena merupakan tahapan perbaikan ekonomi. Namun, dari sini, BI optimis mengejar defisit neraca transaksi berjalan (
Current Account Deficit/CAD) agar tetap berada di bawah tiga persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
"Perkiraan sekitar 2,1 persen sampai 2,2 persen dari PDB. Angka kondusif untuk Indonesia berkembang itu optimalnya 2,5 persen sampai 3 persen. Jadi, Indonesia masih bisa menerima defisit transaksi berjalan yang lebih tinggi dari 2,1 persen," tambahnya.
(gir)