Jakarta, CNN Indonesia -- Asosiasi Eksportir Timah Indonesia (AETI) menyatakan Indonesia tak lagi membutuhkan penambahan smelter timah untuk saat ini. Hal ini disebabkan tingkat utilisasi smelter timah sendiri hanya 21 persen.
Menurut Ketua AETI Jabin Sufianto, hal ini merupakan tingkat utilisasi yang terendah sejak tahun 2000. Jabin sendiri tak menampik kondisi ini pengaruh dari beberapa pengembang tambang memutuskan untuk menahan produksi timah karena permintaan yang melambat.
"Ya semuanya juga kan pasti begitu. Pasti semuanya mencari yang bagaimana pas agar enggak rugi. Tapi juga enggak berlebihan untuk merusak pasar juga," ucap Jabin di Bali, Senin (19/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Angka tersebut merupakan hasil audit yang dilakukan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Menurutnya, kapasitas smelter yang ada di Indonesia mampu menghasilkan produk timah hingga 268 ribu ton.
"Jadi enggak perlu ada bangun-bangun smelter lagi. Tapi ternyata utilisasinya hanya 21 persen," imbuhnya.
Kendati menjadi angka yang terendah sejak 16 tahun yang lalu, tetapi Jabin masih optimistis angka utilisasi ini akan meningkat lagi. Namun yang pasti, untuk menumbuhkan industri timah sendiri, Jabin berharap kebocoran ekspor timah yang masih terus terjadi hingga saat ini bisa teratasi.
"Menurut saya sih, lebih berharap ekspor yang sekarang bocor itu masuk jadi produksinya Indonesia. Kalau bocor kan royalty segala tidak dibayar. Negara rugi. Gitu, Saya sih lebih berharap di situ. Jadi saya berharap produksi Indonesia naik karena yang bocornya itu masuk ke produksi Indonesia," jelasnya.
Menurutnya, jumlah utilisasi yang kecil ini juga disebabkan oleh kurangnya pasir timah. Di mana kemungkinan hal itu terjadi karena kebocoran ekspor timah. Sehingga, ia menyimpulkan jumlah pasir timah saat ini seharusnya lebih banyak.
"Kalau bisa dibilang, kita sekarang kekurangan pasir. Ya kebocoran itu mungkin ya, jadi kita kekurangan pasir," pungkasnya.
Sebelumnya, ESDM menemukan adanya perusahaan smelter timah yang masih menggunakan bahan baku pasir timah dari pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang tidak memiliki sertifikasi Clean and Clear (CNC).
Inspektur Jenderal Kementerian ESDM Mochtar Husein mengatakan hal itu terlihat dari audit yang dilakukan terhadap 27 dari 49 perusahaan smelter di Provinsi Bangka Belitung.
Audit tersebut berhasil menginventarisasi 755 IUP, di mana sebanyak 498 IUP atau 65,96 persen, tercatat memiliki sertifikasi CNC. Sementara itu, sisa 257 IUP tercatat sebagai IUP non-CNC.
Bahan baku dari IUP tersebut dialokasikan bagi 27 perusahaan smelter dengan produksi mencapai 70.612 ton di tahun 2015, atau 20,78 persen dari kapasitas maksimal sebesar 340.630 ton di periode yang sama.