Jakarta, CNN Indonesia -- Pengamat energi Fabby Tumiwa meminta PT PLN (Persero) mempertimbangkan faktor ketersediaan lahan dalam menentukan pemenang tender proyek Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) Jawa 1 berkapasitas 1.600 megawatt (MW) senilai Rp30 triliun.
"Ketersediaan lahan ini penting karena terkait kemampuan peserta tender menyelesaikan proyek PLTGU secara tepat waktu dan sekaligus juga biaya proyek, apakah menjadi lebih mahal atau tidak," ujarnya, seperti dilansir ANTARA, Selasa (20/9).
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) IESR itu mengatakan, secara umum PLN harus menentukan pemenang lelang PLTGU Jawa 1 atas empat kriteria, yaitu harga penawaran, kemampuan pendanaan, kredibilitas termasuk pengalaman, dan kemampuan menyelesaikan proyek tepat waktu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk poin kemampuan menyelesaikan proyek PLTGU tepat waktu, sambung dia, soal ketersediaan lahan menjadi pertimbangan penting. Oleh karenanya, panitia lelang PLN hendaknya mempertimbangkan berbagai faktor tersebut dalam menentukan pemenang tender.
"Apakah dengan menggunakan reklamasi lahan, peserta tender bisa menyelesaikan proyek tepat waktu?" katanya.
Sebagai informasi, PLN kini tengah melaksanakan tender proyek PLTGU Jawa 1 senilai Rp30 triliun. Terdapat empat peserta tender tersisa, yakni konsorsium Adaro-Sembawang Corp, konsorsium Medco-Nebras, konsorsium Pertamina-Marubeni-Sojitz, serta konsorsium Mitsubishi-Pembangkitan Jawa Bali (PJB)-Rukun Raharja.
Opsi lokasi titik serah penjualan listrik sesuai persyaratan tender PLN adalah Muara Tawar, Bekasi dan Cibatu Baru, Bekasi. Konsorsium Adaro, Medco, dan Mitsubishi diketahui akan memakai lahan dari hasil reklamasi laut di sekitar Muara Tawar.
Sementara, Pertamina diuntungkan karena akan memanfaatkan lahan sendiri di Cilamaya yang berdekatan dengan Cibatu Baru.
Fabby mengkhawatirkan, kalau memakai lahan dari reklamasi laut, maka penyelesaian proyek (commercial on date/COD) PLTGU bakal lebih lama lagi karena membutuhkan banyak proses perizinan dan juga uji amdal yang jauh lebih kompleks.
"Oleh karena itu, perlu ditekankan, apakah konsorsium yang memakai lahan reklamasi, bisa menjamin COD PLTGU tepat waktu, dan apa implikasinya pada PLN kalau proyek terlambat," imbuh dia.
Menurut dia, PLN perlu mempertimbangkan, jika pengoperasian PLTGU terlambat, apakah akan mengakibatkan dampak negatif pada pasokan listrik atau juga menghasilkan dampak berupa pembengkakkan biaya-biaya lainnya.
"Ini yang perlu dijadikan alasan dan pertimbangan dalam menentukan pemenang tender. Kalau dampaknya ternyata lebih besar dari keuntungan biaya konstruksi, maka PLN harus mencari pemenang tender lainnya," terang Fabby.
Ia mengingatkan, agar proses tender PLTGU mengedepankan prinsip kehati-hatian (prudent) dan transparansi serta ditetapkan pemenang yang paling menguntungkan bagi PLN.
PLTGU Jawa 1 yang dibangun menggunakan skema pengembang swasta (independent power producer/IPP), merupakan bagian proyek 35.000 MW dengan target operasi pada 2019.
(bir/gen)