Yayasan Satu Keadilan: Kami Tidak Anti Tax Amnesty

Agust Supriadi | CNN Indonesia
Selasa, 20 Sep 2016 18:20 WIB
Mahkamah Konstitusi menggelar sidang perdana uji materi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak yang digugat Yayasan Satu Keadilan.
Ferry Robbany Group Head International Bank Mandiri ; Dasto Ledyanto, Direktur Ekstensifikasi dan Penilaian DJP; Yusuf Arifin, Pemimpin Redaksi CNN Indonesia.com; Sugeng Teguh Santoso, Sekjen Peradi/Ketua Yayasan Satu Keadilan; dan Siddhi Widyaprathama, Pengurus Apindo berfoto bersama usai jadi pembicara Lunch at Newsroom CNNIndonesia.com, Selasa (20/9). (CNNIndonesia.com/Agust Supriadi)
Jakarta, CNN Indonesia -- Mahkamah konstitusi (MK) siang ini menggelar sidang perdana uji materi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak.

Yayasan Satu Keadilan (YSK) selaku penggugat menegaskan, upaya ini ditempuh bukan karena menolak kebijakan amnesti pajak, melainkan hanya keberatan dengan sejumlah klausul dalam UU Pengampunan Pajak yang menerabas struktur hukum.

"Tujuan dari tax amnesty baik, tapi tidak boleh ada distorsi dan jangan sampai meruntuhkan bangunan hukum. Karena salah satu kesimpulan kami, UU ini bisa menjadi instrumen legal pencucian uang yang melangkahi kewenangan kehakiman," tutur Ketua YSK Sugeng Teguh Santoso dalam acara diskusi Lunch at Newsroom CNNIndonesia.com, Selasa (20/9).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Sugeng mengaku dapat mengerti upaya pemerintah mencari tambahan penerimaan dengan menyasar potensi pajak penghasilan atas harta tambahan yang selama ini belum dilaporkan oleh wajib pajak.

Namun dalam pelaksanaannya, ia menyoroti Pasal 20 UU Nomor 11 Tahun 2016, di mana data dan informasi yang dilaporkan wajib pajak dalam rangka amnesti pajak tidak dapat dijadikan dasar penyelidikan dan penyidikan kasus tindak pidana umum.

"Ada frasa yang menegaskan soal pidana lain dan ini yang buat membuat kami concern sebaga lembaga pemerhati hukum. Karena seharusnya rezimnya hanya tentang perpajakan," tuturnya.

Sesuai dengan konstitusi, kata Sugeng, pajak merupakan instrumen penerimaan negara yang berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 sifatnya memaksa. Namun, dalam eksekusinya pemerintah justru memberikan pengampunan pajak kepada para pengemplang pajak.

Karenanya, selain melanggar konstitusi juga menjadi tidak adil bagi para pembayar pajak patuh yang tidak mendapatkan insentif dari kebijakan amnesti pajak dan justru merasa khawatir akan mejadi korban di kemudian hari.

"Dengan Pasal 20 UU Tax Amnesty, maka uang yang berasal dari pelanggaran hukum, selama pemiliknya bayar uang tebusan dan deklarasi, maka menjadi uang halal. Beda dengan tax amnesty di Belgia yang sebelumnya harus dipastikan dulu asal usul asetnya," jelas Sugeng.


Dasto Ledyanto, Direktur Ekstensifikasi dan Penilaian Direktorat Jenderal Pajak menilai anggapan YSK itu keliru. Sebab, sesuai dengan UUD 1945, seluruh kebijakan yang menyangkut keuangan negara harus berlandaskan Undang-Undang.

Sementara di UU Pajak Penghasilan (PPh), Dasto mengatakan, objek PPh adalah setiap tambahan ekonomis yang bisa menambah kekayaan dan konsumsi setiap wajib pajak dalam bentuk apapun. Artinya, ketentuan perpajakan itu hanya merujuk pada  pajak, bukan pada asal usul penghasilan wajib pajak.

Menyangkut Pasal 20 UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, Dasto menekankan, hanya data dan informasi yang dilaporkan wajib pajak dalam rangka tax amnesty yang tidak boleh menjadi dasar penyelidikan dan penyidikan tindak pidana.

Itu pun tidak berlaku bagi wajib pajak yang berstatus sebagai tersangka atau hasil penyidikannya dinyatakan sudah lengkap (P-21), maupun bagi wajib pajak yang tengah menjalani hukuman atau telah dinyatakan bersalah.

"Jadi hanya data dan informasi yang dilaporkan WP peserta tax amnesty yang tidak boleh dijadikan dasar penyelidikan dan pidana  kasus pidana," tegasnya.

Namun, Dasto dan Sugeng sepakat untuk menyerahkan sepenuhnya hasil uji materi UU Pengampunan Pajak kepada para hakim Mahkamah Konstitusi. (ags/gen)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER