Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Keuangan (Kemenkeu) resmi menerbitkan dua aturan relaksasi amnesti pajak (
tax amnesty) guna menyempurnakan dan memberikan kemudahan bagi wajib pajak (WP).
Beleid pertama adalah Peraturan Menteri keuangan Nomor 141/PMK.03/2016 tentang Perubahan atas PMK188/PMK.03/2016 terkait Pelaksanaan Undang-undang (UU) Pengampunan Pajak, yang diteken Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada 23 September 2016.
Ada lima poin tambahan yang masuk dalam PMK tersebut, yaitu:
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertama, pemerintah memberikan kelonggaran administrasi dengan tidak mewajibkan menyertakakan data digital (
softcopy) rincian Harta Tambahan dan utang bagi WP tertentu. Adapun kriteria WP yang diberikan pengecualian pelaporan data
softcopy akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
“Dalam PMK 118 sekarang, digital
softcopy masih diharuskan untuk disampaikan dan juga dengan hardcopy-nya,” tutur Staf Ahli Menteri Keuangan Suryo Utomo saat ditemui di Kantor Pelayanan Pajak Sudirman, Senin (26/9).
Kedua, pemerintah juga mengatur soal pemberian tanda terima sementara kepada WP yang menyampaikan Surat Pernyataan ketika terjadi gangguan jaringan atau dalam keadaan luar biasa.
Ketiga, pemerintah juga menegaskan, fasilitas pembebasan pajak penghasilan (PPh) tidak berlaku untuk pengalihan hak atas tanah dan bangunan yang dilakukan oleh pengembang (
developer) kepada pembeli yang belum dibaliknamakan.
Keempat, pemerintah juga meminta laporan pengalihan dan realisasi investasi harta tambahan, serta laporan penempatan harta tambahan yang berada di Indonesia disampaikan secara berkala setiap tahun selama tiga tahun. Laporan itu disampaikan paling lambat saat berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Kelima, pemerintah mengizinkan WP dengan kriteria tertentu yang telah menyampaikan Surat Pernyataan Harta (SPH) untuk tidak jadi menggunakan haknya mengikuti amnesti pajak.
Caranya, WP terkait harus mencabut SPH yang telah disampaikan sebelumnya. Relaksasi ini diberikan bagi WP yang pendapatannya di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
“Untuk wajib pajak yang seperti itu boleh mengajukan pencabutan (SPH) seandainya yang bersangkutan menginginkan. Jadi bukan mewajibkan tetapi ada ruang bagi yang bersangkutan untuk dapat melakukan (pencabutan),” ujarnya.
Beleid kedua yang terbit dalam waktu bersamaan adalah PMK 142/PMK.03/2016 tentang perubahan atas PMK 127/PMK.010/2016 terkait Pengampunan Pajak bagi WP yang memiliki harta tidak langsung melalui
Special Purpose Vehicle (SPV).
Dalam PMK ini, WP yang ikut amnesti pajak diperbolehkan untuk tidak membubarkan SPV terkait harta tambahan yang dilaporkan. Kendati demikian, uang tebusan atas aset melalui SPV yang tidak dibubarkan itu akan dikenakan tarif deklarasi luar negeri.
“Apabila SPV itu tidak dibubarkan, maka status (harta tambahan terkait SPV) adalah deklarasi investasi di luar negeri walaupun SPV memiliki kepemilikan di Indonesia,” ujarnya.
Pada kesempatan terpisah, Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi mempertegas kebijakan relaksasi amnesti pajak dengan merilis Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) Pajak Nomor 13/PJ/2016.
Ken menuturkan, kemudahan ini hanya diberikan bagi wajib pajak yang berpartisipasi dalam program pengampunan pajak di pekna terakhir periode tarif termurah atau hingga 30 September 2016.
Menurutnya, WP yang ikut amnesti pajak pada minggu terakhir September diberikan perpanjangan waktu penyampaiaan lampiran harta tambahan hingga 31 Desember 2016. Kendati demikian, WP tetap harus menyampaikan SPH dan membayar uang tebusannya sebelum 30 September 2016.
“Intinya waktu yang diperpanjang adalah lampiran dari harta tetapi surat pernyataan harta harus dimasukkan juga sampai dengan periode terakhir dengan uang tebusannya,” ujarnya.
Untuk itu, jelasnya, pemohon amnesti pajak harus menyampaikan SPH yang dilampiri dengan bukti pembayaran uang tebusan atau bukti penerimaan negara, bukti pelunasan tunggakan pajak.
Selain itu, lanjut Ken, SPH yang disampaikan juga harus mencantumkan daftar rincian harta tambahan yang paling sedikit memuat informasi kepemilikan harta berupa kode harta, nama harta, tahun perolehan, nilai nominal/nilai wajar harta.
Bagi WP yang memiliki utang terkait harta tambahan yang dilaporkan, WP harus melampirkan daftar utang tambahan yang paling sedikit memuat informasi berupa kode utang, jenis utang, tahun peminjaman, dan nilai yang bisa diperhitungkan sebagai pengurang harta.
(ags)