Jakarta, CNN Indonesia -- Persatuan Perusahaan Kosmetika Indonesia (Perkosmi) menilai kewajiban label halal pada produk kosmetik yang diatur pemerintah dalam Undang-Undang (UU) Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) tidak tepat.
"Kosmetik ini digunakan di luar, tidak masuk ke dalam tubuh konsumen layaknya makanan, minuman, dan obat. Jadi, tidak tepat diterapkan ke kosmetik untuk halal ini," ungkap Ketua Bidang Teknis dan Ilmiah Perkosmi Dewi Rijah Sari, Rabu (5/10).
Sekalipun ada beberapa perusahaan kosmetik yang mengklaim produknya halal, Dewi menilai, hal ini hanya sebatas cara perusahaan menjual produknya atau selling point.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pasalnya, label halal tak jauh berbeda fungsinya, seperti jaminan kosmetik yang tahan digunakan selama 24 jam atau kosmetik yang tahan air atau waterproof.
"Itu hanya selling point saja, ini loh kosmetik kita tahan 24 jam, waterproof, bahkan halal. Jadi, tidak perlu diwajibkan tapi yang ingin menyatakan produknya halal barulah mereka lakukan pengujian," jelas Dewi.
Bila pemerintah bersikeras memukul rata bahwa semua produk kosmetik harus berlabel halal, Dewi memastikan, aturan ini akan menghambat perputaran produk kosmetik di pasaran yang saat ini terbilang cepat.
"Aturan ini membuat produk kosmetik lamban masuk ke pasaran. Padahal tren kosmetik itu cepat sekali perputarannya, cenderung mengikuti fashion. Jadi, butuh regulasi yang lebih cepat," ujar Dewi.
Menurut Dewi, pemeriksaan kehalalan membuat suatu kosmetik yang masuk ke pasar Indonesia, baik kosmetik dari dalam negeri maupun luar negeri harus melalui serangkaian pengujian yang panjang hingga diberikan label halal.
"Ini membuat masyarakat harus ekstra sabar saat suatu kosmetik masuk ke pasaran karena tidak bisa langsung dibeli dan dicoba, harus uji halal dulu," imbuhnya.
Belum lagi, kata Dewi, konsumen kosmetik berpotensi dibebankan biaya tambahan. Pasalnya, uji produk halal memakan biaya tambahan yang membuat biaya operasional industri kosmetik membengkak dan tentu akan berimbas kepada konsumen.
Jika dilihat lebih rinci, maka imbas kewajiban label halal pada produk kosmetik sudah memberatkan industri kosmetik sejak dari hulu sampai ke hilir.
Dewi menjelaskan, dari hulu, pemerintah memaksa industri kosmetik untuk menguji bahan baku yang digunakan pada produk kosmetik.
"Bahan baku kosmetik itu 90 persen dari impor. Berarti kami harus periksa halal atau tidaknya sedari bahan tersebut dihasilkan suatu negara. Belum lagi, bahan baku kosmetik sekian ribu, tidak mungkin memeriksa satu per satu," jelas Dewi.
Masih di hulu, industri kosmetik juga diwajibkan menggunakan fasilitas pengolahan yang terjamin kehalalannya. Bahkan, ketentuan halal berlanjut sampai ke penyajian produk, distribusi, hingga akhirnya lulus uji Badan Pemeriksa Obat dan Makanan (BPOM) dan mendapat label halal.
Rangkaian panjang untuk mendapatkan label halal ini, menurut Dewi, perlu diperhitungkan lagi oleh pemerintah, terlebih ketentuan tingkat-tingkat pengujian kehalalan.
Untuk diketahui, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat ini tengah melakukan kajian ulang terhadap UU JPH. Dari hasil kajian ulang ini, nantinya, pemerintah akan memberlakukan skema jaminan produk halal untuk tiga industri.
Pertama, JPH akan diberlakukan di industri mamin per akhir tahun ini seiring dengan diterbitkannya revisi UU JPH.
Kedua, JPH diberlakukan di industri produk kosmetik pada 2017 dan ketiga, diberlakukan di industri obat dan alat kesehatan pada 2018 mendatang.
Pekerjaan Rumah PemerintahJika pemerintah memaksa label halal pada kosmetik, maka Dewi menilai seharusnya pemerintah terlebih dahulu harus menyelesaikan 'pekerjaan rumahnya'.
Pasalnya, Dewi mencatat, saat ini terdapat 110 ribu produk kosmetik yang terdaftar di BPOM, tetapi baru 3,63 persen atau sekitar 4 ribu produk dari 48 perusahaan kosmetik yang melakukan sertifikasi halal.
"Kalau UU ini berlaku, sisa sekitar 96 persen produk kosmetik yang belum berlabel halal mau dikemanakan? Tidak mungkin pemerintah larang produk tersebut beredar," tekan Dewi.
Belum lagi, bagi produk kosmetik baru yang terus diproduksi oleh industri kosmetik tentu akan bertambah sehingga dipastikan tugas pemerintah kian bertambah untuk menguji kehalalan produk kosmetik.