Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan akan menghapus skema harga tetap (
fixed) dengan eskalasi tahunan di dalam setiap pembuatan Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG) antara Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dengan pembeli.
Harga tetap sepanjang tahun atau sampai berakhirnya masa kontrak akan diganti dengan formula
hybrid. Di mana, separuhnya atau 50 persen komponen harga akan mengikuti fluktuasi harga minyak dunia.
Direktur Pembinaan Program Migas, Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM Agus Cahyono Adi mengatakan, skema ini merupakan jalan tengah untuk menekan harga gas yang selama ini menjadi momok bagi industri pengguna. Sehingga dalam jangka panjang, harga output industri domestik bisa lebih murah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pergantian formulasi harga gas ini merupakan tindak lanjut dari keinginan Presiden Joko Widodo untuk menurunkan harga gas dalam jangka 1,5 bulan ke depan. Ini sedang dibicarakan dengan pelaku usaha," jelas Agus, Kamis (6/10).
Ia melanjutkan, skema harga fixed ini dianggap sebagai biang keladi tingginya harga gas Indonesia saat ini. Mengingat harganya yang tidak relevan dengan kondisi pasar saat ini.
Namun menurut Agus, munculnya skema harga gas secara
fixed itu juga bukan sepenuhnya salah KKKS. Pasalnya, skema itu lahir ketika harga minyak sedang tinggi, dan bertujuan untuk melindungi pengguna akhir dari meroketnya biaya operasional industri.
"Pada saat itu, dengan
benchmark harga minyak yang tinggi, harga gas bisa mencapai US$20 per MMBTU, sehingga muncul skema
fixed dengan eskalasi. Kalau misalkan industri sekarang mengeluh harga gas US$10 per MMBTU atau US$8 per MMBTU ya tidak ada apa-apanya dibanding dulu," lanjutnya.
Simalakama HargaTetapi dengan harga gas yang semakin menurun, ia mengatakan skema harga
fixed ini ibarat buah simalakama. Pasalnya, harga gas tetap akan naik per tahunnya, tanpa mempertimbangkan keadaan harga gas dunia.
Sedangkan di sisi lain, pemerintah tak rela jika harga gas mengikuti harga minyak. Pasalnya, harga gas bisa melonjak tajam jika harga minyak meningkat dan merugikan pengguna akhir. Sebaliknya, jika harga gas terjerembab, maka itu bisa merugikan KKKS.
"Makanya kami anggap skema
hybrid ini skema terbaik. Harganya tak akan berfluktuasi secara ekstrem jika terjadi perubahan harga minyak," lanjutnya.
Lebih lanjut, ia menyebut jika seluruh PJBG dengan skema harga
fixed akan diubah menjadi skema
hybrid. Kendati demikian, ia tak menyebut kapan skema ini bisa mulai diimplementasikan.
"Dan ini perlu dikomunikasikan dengan baik. Pasalnya, PJBG itu kan harus ada kesepakatan antara dua pihak. Karena itu adalah kontrak, sehingga tak bisa diputuskan secara sepihak," lanjutnya
Sebelumnya, industri pupuk juga mengeluhkan harga gas dengan skema
fixed ditambah eskalasi per tahunnya.
Direktur Teknik dan Pengembangan PT Pupuk Kujang, Hanggara Patrianta menjelaskan, skema ini dianggap tidak relevan karena tidak sejalan dengan perkembangan harga pupuk internasional yang tengah terpuruk. Akibatnya, Harga Pokok Penjualan (HPP) perusahaan jauh di atas harga pupuk internasional, yang membuat produk perusahaan tak punya daya saing.
(gen)