Jakarta, CNN Indonesia -- Rencana pemerintah mengubah status Kota Batam, dari kawasan perdagangan bebas atau
Free Trade Zone (FTZ) menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), masih terganjal permasalahan lahan.
Persoalan tersebut dikeluhkan oleh para pelaku usaha di kawasan tersebut dan mendesak pemerintah menuntaskan permasalahan klasik itu sebelum bermimpi memoles Batam. Salah satu masalahnya adalah lambatnya penerbitan izin peralihan hak (IPH) atas lahan.
"Lambatnya penerbitan IPH membuat akte jual beli terhambat juga padahal kalau tidak ada akte jual beli lahan, perusahaan menjadi kesulitan," ujar Achyar Arfan, Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah Real Estate Indonesia (DPD REI) Batam saat rapat bersama dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Jumat (7/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
FTZ merupakan kawasan pelabuhan dan perdagangan bebas yang menawarkan berbagai kemudahan bagi pelaku industri manufaktur yang menghuninya, mulai dari pembebasan bebas masuk, cukai, pajak pertambahan nilai (PPN), dan Pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) bagi penghuninya.
Sementara KEK merupakan kawasan tertentu dengan kekhususan tertentu. Fasilitas perpajakan yang diberikan tidak terlalu beda dengan FTZ, tetapi sektor industri yang dikembangkan hanya difokuskan pada industri tertentu yang menjadi unggulan di wilayah tersebut.
Keluhan serupa juga dilayangkan oleh Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi) yang meminta proses pengurusan lahan di Kepulauan Riau (Kepri) dipermudah.
"Lahan di Provinsi Kepri sekitar 80 persennya diperoleh dari pihak ketiga, ternyata lahannya banyak yang bermasalah karena berada di kawasan yang tidak tepat," ujar Sahmadin Sinaga, Ketua Apersi Khusus Kota Batam.
Sementara itu, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kepri menyoroti soal tidak adanya kepastian hukum terkait penerbitan Hak Pengelola Lahan (HPL). Menurutnya, Wakil Ketua Umum Bidang Organisasi Kadin Kepri Heru Supriadi, HPL sangat menentukan pengembangan industri di Batam.
Tak hanya soal permasalahan lahan, Heru juga mengkritik kualitas pelayanan publik yang buruk di Batam. Karenanya, peralihan status wilayah harus diikuti dengan perbaikan birokrasi di Kota Batam.
Tata ruang di Batam juga menjadi sorotan Kadin Kepri. Heru mengatakan, perlu ada perbaikan tata ruang yang memisahkan antara kawasan pemukiman dengan kawasan industri di Batam.
Untuk memastikan itu, ia menekankan pentingnya badan pengawas khusus di Batam senadainya nanti bmenjadi KEK. Hal itu juga penting untuk mengakhiri dualisme kekuasaan yang selama ini dipegang oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam dan Pemerintah Kota (Pemkot) Batam.
"Harus satu regulasi, satu tanggung jawab karena sekarang Batam akan jadi KEK," ungkap Heru.
Pada kesempatan tersebut, Wakil Ketua DPD Farouk Muhammad memint apemerintah membuat daftar inventarisasi masalah untuk menuntaskan berbagai permasalahan tersebut.
Menanggapi keluhan tersebut, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution memastikan pemerintah akan mengajak semua pihak yang terkait di Batam duduk bersama guna mencari solusi yang tepat.
Pihak-pihak yang akan diajak berdiskusi adalah Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau, Pemerintah Kota Batam, Badan Pengusahaan Batam, dan pelaku usaha.
"Sudah banyak yang saya dengarkan, saya akan kumpulkan mereka lagi untuk dengar lebih banyak dan saya akan cari solusinya," tuturnya.
Sebelumnya, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) telah memberikan restu kepada Darmin untuk mengubah Batam menjadi KEK. Ia berpesan agar pengubahan status ini dilakukan dengan transisi yang baik.
"Presiden sudah menyetujui. Tapi proses transisinya sendiri membutuhkan waktu tiga tahun dan masih bisa berubah sesuai evaluasi," jelas Darmin.
Adapun pengubahan status Kota Batam dari FTZ ke KEK akan dilakukan pemerintah karena selama ini kurang menguntungkan dengan adanya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
"Setelah MEA berlaku, barang dari Malaysia dan Singapura bisa masuk dengan bea rendah. Jadi, kita ubah jadi KEK," kata Darmin beberapa waktu lalu.
(ags/gen)