Malang, CNN Indonesia -- Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) memperbolehkan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dengan omzet mencapai Rp4,8 miliar per tahun, untuk menyampaikan Surat Pernyataan Harta (SPH) secara kolektif agar bisa berpartisipasi dalam kebijakan pengampunan pajak (
tax amnesty).
Dengan langkah ini, DJP yakin bisa menjaring UMKM untuk ikut
tax amnesty di periode II yang berlangsung mulai Oktober hingga Desember mendatang.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Hestu Yoga Saksama menjelaskan, sistem kolektif ini lebih mudah karena Wajib Pajak (WP) UMKM tak usah meninggalkan usahanya untuk mendaftar ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Untuk itu, instansinya akan segera melakukan sosialisasi ke beberapa himpunan pengusaha.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi nanti seperti Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), hingga Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) kan juga menaungi pengusaha UMKM. Nanti polanya kami yang mendekati UMKM," ujar Hestu di Malang, Kamis (13/10).
Selain melalui himpunan pengusaha, DJP juga akan melakukan pendekatan kepada asosiasi daerah. Bahkan, pengumpulan SPH ini juga bisa diserahkan ke Kepala Rumah Tangga (RT) dan Rukun Warga (RW) jika memang WP enggan menyerahkannya ke asosiasi.
"Atau bisa juga nanti kami kumpulkan pengusaha UMKM-nya, nanti dari KPP datang langsung memberi bimbingan teknis bagaimana mengisi SPH, bayar uang tebusan dan sebagainya. Karena mereka sebenarnya juga paham, cuma teknisnya saja tidak tahu," tambahnya.
Lebih lanjut, ia berharap kebijakan ini bisa segera diimplementasikan karena payung hukumnya, berupa Peraturan Direktur Jenderal Pajak no. 17 tahun 2016, telah diteken 3 Oktober silam.
Namun sayangnya, penyerahan SPH secara kolektif ini hanya bisa dilakukan hingga 31 Januari 2017 meski batas waktu kebijakan
tax amnesty berakhir pada bulan Maret. Hestu beralasan, KPP setidaknya membutuhkan waktu 20 hari kerja untuk meneliti SPH dan membuatkan berita acaranya.
"Sehingga kalau menyerahkannya di akhir-akhir masa kebijakan, ditakutkan berita acara tak selesai tepat waktu," ujarnya.
Belum MemuaskanHestu mengatakan, DJP memang tengah mengejar partisipasi UMKM karena angkanya tak sesuai harapan. Pasalnya, pada periode pertama
tax amnesty, SPH UMKM hanya mencapai 53.673 dengan nilai uang tebusan sebesar Rp2,55 triliun.
Angka ini sangat kontras dibandingkan SPH yang diserahlan WP non-UMKM, di mana SPH mencapau 226.262 dengan uang tebusan menembus Rp74,85 triliun.
"Data kami menunjukkan bahwa UMKM di Indonesia itu menyumbang 60 persen Produk Nasional Bruto (PDB) nasional. Nah itu sumbangannya kecil terhadap perpajakan, tidak sampai 3 hingga 4 persen. Ini akan kita coba sosialisasikan kepada UMKM yang jumlahnya sangat besar," lanjutnya.
Kendati demikian, Hestu menjelaskan bahwa DJP tak menentukan target SPH UMKM dalam periode kedua ini. "Tidak ada target. Semoga berhasil dengan kerja keras, upaya sosialisasi, dan pelayanan," lanjutnya.
Menurut Undang-Undang (UU) Nomor 11 tahun 2016, tarif uang tebusan amnesti pajak bagi pelaku UMKM terbilang stabil sampai akhir periode, yakni 0,5 persen bagi harta di bawah Rp10 miliar dan 2 persen untuk yang di atas Rp10 miliar.
(gen)