Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyadari bahwa instrumen fiskal hanya solusi jangka pendek untuk memotong rantai kemiskinan, yang realisasinya terkadang menyisakan kekecewaan.
Meskipun setiap tahun pemerintah meningkatkan pagu anggaran belanja pelayanan dasar, namun ia mengakui kualitas belanjanya belum seagresif pertumbuhan anggarannya.
Dalam sebuah seminar bertajuk
Supermentor16: End Poverty yang digelar oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), Senin (17/10), Sri Mulyani menjadikan anggaran pendidikan, yang alokasinya meningkat delapan kali lipat dalam satu dekade, sebagai contoh belanja pemerintah yang hasilnya tak sepositif tujuannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Waktu saya jadi Menteri Keuangan, 10 tahun lalu, anggaran pendidikan kita masih sekitar Rp 50 triliun sampai Rp 70 triliun. Sekarang anggaran pendidikan kita adalah Rp 400 triliun. Boleh tepuk tangan," ujar Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu.
"Tetapi kalau dilihat , masih ada sekolah yang belum baik, masih ada kekecewaan, bagaimana anggaran yang besar (belum) mampu untuk memecahkan masalah kualitas pendidikan," lanjutnya.
Dalam jangka panjang, ia menekankan, penyediaan pelayanan dasar bagi masyarakat miskin merupakan suatu keharusan. Namun, dibutuhkan kapasitas fiskal yang kuat untuk mewujudkannya.
“Rantai kemiskinan harus diputus. Untuk bisa memutus maka keluarga miskin harus mampu bisa menikmati apa yang disebut dengan pelayanan dasar yaitu pendidikan, kesehatan, air bersih, dan sanitasi,” jelas Sri Mulyani.
Pajak, katanya, merupakan salah satu instrumen fiskal untuk meredistribusi pendapatan dari masyarakat kaya ke masyarakat miskin.
“Tanpa ada penerimaan pajak musykil bagi kita untuk membuat program-program kemiskinan yang bisa menyelesaikan dan memotong rantai kemiskinan antar generasi,” tuturnya.
Sayangnya, rasio penerimaan pajak Indonesia terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) masih tergolong rendah jika dibandingkan negara tetangga. Pada 2012,
tax ratio Malaysia, Filipina, dan Thailand masing-masing sudah 16,1 persen; 12,9 persen, dan 16,5 persen. Sementara Indonesia, sampai saat ini masih berkutat di kisaran 11 persen PDB.
Atas dasar itu, Sri Mulyani menegaskan, reformasi perpajakan menjadi suatu keharusan. Program amnesti pajak dianggapnya sebagai bagian dari kebijakan besar itu untuk memutus ketidakpercayaan publik terhadap penyelenggara negara. Momentum ini diharapkan bisa menjadi titik balik bagi pemerintah untuk membangun kembali kepercayaan yang pernah luntur antara pembayar pajak dan negara.
(ags)