Harga Gas Tetap Tinggi Tanpa Payung Hukum Holding BUMN Energi

Gentur Putro Jati | CNN Indonesia
Kamis, 20 Okt 2016 18:15 WIB
Rencana pembentukan holding BUMN energi hanya menunggu ketegasan Presiden Jokowi untuk segera merealisasikannya.
Rencana pembentukan holding BUMN energi hanya menunggu ketegasan Presiden Jokowi untuk segera merealisasikannya. (Rusman/Setpres)
Jakarta, CNN Indonesia -- Harga gas industri diyakini bakal tetap mahal jika Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak kunjung merilis revisi Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Perseroan Terbatas, sebagai dasar hukum pembentukan induk (holding) BUMN sektor energi.

Penyempurna Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tersebut dinilai sudah memadai sebagai payung hukum penggabungan PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) sebagai anak usaha PT Pertamina (Persero).

"Persoalannya ada berbagai kalangan yang menghalangi-halangi upaya proses integrasi holding company ini," kata Dirgo Purbo, pakar ketahanan energi dan pengajar geoekonomi di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Kamis (20/10).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Dirgo, keterlambatan implementasi pembentukan holding BUMN energi memberikan dampak terhadap rencana kerja yang seharusnya bisa dijalankan holding. Salah satunya adalah menyatukan rencana biaya investasi sektor hulu sampai hilir gas bumi, yang diyakini bakal membuat harga gas lebih murah karena holding tersebut bisa menciptakan efisiensi.

Dirgo menyebut, hingga saat ini pembentukan holding BUMN energi tidak kunjung terealisasi karena resistensi dari sebagian kalangan.

Rini Soemarno, Menteri BUMN sebelumnya menyoroti pentingnya konsolidasi PGN sebagai anak usaha Pertamina dilihat dari kapasitas pengembangan bisnis sekaligus efisiensi.

"Kenapa sangat penting PGN itu menjadi anak usaha Pertamina, sehingga cost untuk infrastruktur untuk pengiriman gas itu menjadi terintegrasi. Tujuannya agar tak ada double investment,” ungkap Rini, beberapa waktu lalu.

Komaidi Notonegoro, pengamat energi dari Reforminer Institute, mengatakan rencana pembentukan holding BUMN energi hanya menunggu ketegasan Presiden Jokowi untuk segera merealisasikannya.

“Jadi memang butuh ketegasan dari pemerintah. Karena pertanyaannya ada di pemerintah dan berangkatnya dari pemerintah juga,” kata dia.

Komaidi mengakui memang tidak mudah untuk menyatukan dua perusahaan yang memiliki aset, latar belakang dan budaya kerja yang berbeda. Untuk itu, dibutuhkan komunikasi untuk menyatukan pemahaman yang sama tentang penggabungan tersebut.

A Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada berpendapat, konsolidasi suatu perusahaan yang berbisnis di sektor yang sama lumrah terjadi. Baik untuk industri perbankan, farmasi, semen, pupuk maupun energi.

Terlebih jika berstatus perusahaan pelat merah yang membutuhkan skala modal besar untuk ekspansi, sekaligus tetap menjalankan prinsip efisiensi.

“Jadi inilah dasar filosofi yang mendukung ide konsolidasi BUMN energi. Intinya, baik Pertamina maupun PGN harus terus tumbuh berkembang dan pertumbuhan ini memerlukan modal besar. Hal ini pada gilirannya akan menguntungkan semua pihak, termasuk masyarakat,” ujar Tony.

Menurut Tony, bisnis energi memerlukan modal yang besar. Ekspansi usaha hanya bisa dilakukan jika perusahaan memiliki modal besar. Sumber dananya bisa berasal dari kemampuan pemilik, yakni pemerintah, melakukan divestasi di pasar modal, atau dengan memanfaatkan laba yang ditahan (retained earnings).

“Namun jika hal-hal tersebut tidak bisa dilakukan, misalnya karena pemilik yakni pemerintah sedang harus membelanjakan banyak dana APBN untuk keperluan yang lain, perlu semacam engineering yang lazim dilakukan, yakni melakukan konsolidasi dengan perusahaan sejenis,” ungkap dia.

Pertamina tercatat memiliki aset US$46,94 miliar pada semester I 2016. Perseroan juga memiliki kas dan setara kas sebesar US$5,08 miliar. Sementara itu, pada periode yang sama PGN tercatat memiliki aset US$6,53 miliar. Serta kas dan setara kas sebesar US$1,02 miliar.

Menurut Tony, tidak ada regulasi lain yang bisa menggantikan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 karena pembentukan holding BUMN energi membutuhkan payung hukum yang kuat atau berhirarki tinggi, yang dalam hal ini adalah PP.

“Jadi PP memang payung hukum yang paling appropriate untuk membentuk holding company ini,” tegas dia. (gen)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER