Jakarta, CNN Indonesia --
Sejumlah pengusaha sepakat menolak revisi Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat atau Kartel.
Revisi UU yang tengah dibahas oleh Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) itu dinilai tak relevan dan tak logis untuk mengatur kewenangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Revisi UU Larangan Praktik dan Persaingan Usaha Tidak Sehat atau Kartel menyebut kewenangan KPPU kian bertambah kuat, membuat lembaga tersebut menjadi superbody yang dikhawatirkan dapat melemahkan daya saing industri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ada keinginan pemerintah memperkuat KPPU sebagai pelapor, penuntut, penyidik, jaksa, hingga hakim dalam satu badan yang sama. Ini perlu diperhatikan hati-hati," ujar Wakil Ketua Umum Bidang CSR dan Persaingan Usaha Kadin Indonesia Suryani S. Motik, Jumat (21/10).
Menurut Suryani, ketidakrasionalan ini semakin menunjukkan bahwa KPPU hanya memiliki semangat memberikan hukuman dengan mempersempit celah pembenaran pelaku usaha. Belum lagi, pengenaan denda oleh KPPU dianggap terlalu besar dan menyekik pelaku usaha.
Sekadar informasi, pengenaan denda dari KPPU, yakni mencapai 30 persen dari omzet perusahaan serta denda sebesar Rp25 miliar. "Ini tentu tidak adil. Ada peusahaan yang omzetnya besar, tapi keuntungannya tidak. Kalau dipukul rata, tentu membuat perusahaan bangkut,” tutur dia.
Tidak cuma itu, Kadin juga keberatan dengan beberapa pasal yang seakan membuat KPPU berpotensi menyalahgunakan wewenang atau abuse of power, yakni terkait hak untuk menggeledah hingga menyita barang usaha.
Yang tak kalah mengerikan, sambung dia, yaitu kewenangan menggeledah, menyita, dan menyadap. Dunia usaha khawatir, apabila informasi ini dibuka dan lari ke pesaing usaha justru menjadi masalah. Dampaknya, tentu penurunan daya saing dunia usaha dan bahkan tak tercapainya niat membuat persaingan usaha menjadi sehat.
"Kadin tidak anti KPPU, tapi yang diinginkan adalah KPPU yang benar dan tepat serta bisa menumbuhkan dunia usaha yang sehat, kuat, dan menyejahterakan masyarakat," katanya.
Sementara itu, Pengurus Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sutrisno Iwantono mengungkapkan, dampak lanjutan dari superbody-nya KPPU adalah penurunan peluang investasi.
Pasalnya, kegaduhan yang ditimbulkan KPPU melalui publikasi perusahaan yang dituduh melakukan kartel, secara langsung telah menjatuhkan perusahaan tersebut.
"Investasi asing jadi menahan diri untuk kerja sama dengan kami, karena isu kartel membuat investor lemah. Misalnya, KPPU menuduh Yamaha melakukan kartel, semuanya dengar, termasuk investor luar," jelas Sutrisno pada kesempatan yang sama.
Ketua KPPU Syarkawi Rauf menilai, sejumlah penguatan wewenang KPPU justru semata-mata untuk menegakkan persaingan usaha yang sehat dari praktik monopoli yang dapat merugikan pelaku usaha lain dan mengganggu iklim usaha.
Adapun, kewenangan melakukan investigasi, termasuk melakukan penyelidikan bersama pihak Kepolisian hingga membawa kasus untuk diputuskan di pengadilan dianggap tidak melanggar UU.
"Semua dalam rangka akuntabilitas dan transparansi supaya tindakan persekongkolan tidak makin subur dan ini tidak membuat KPPU superbody seperti yang mereka katakan," jelas Syarkawi.
Terkait denda senilai Rp25 miliar, Syarkawi menambahkan, jumlah itu adalah batas maksimal. Menurut dia, ada ketidaktelitian dalam membaca hasil putusan dan UU.
(bir/gen)