Peritel Desak Pemerintah Perketat Izin Usaha Ritel Asing

Galih Gumelar | CNN Indonesia
Senin, 26 Sep 2016 17:05 WIB
Saat ini, Waketum Aprindo Tutum Rahanta bilang, peritel asing banyak mengantre untuk mendapatkan izin beroperasi hingga ke tingkat kabupaten.
Ilustrasi salah satu usaha ritel di dalam negeri. (ANTARA FOTO/Wahyu Putro A).
Jakarta, CNN Indonesia -- Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mendesak pemerintah untuk memperketat masuknya izin usaha ritel asing, setelah pemerintah sempat melonggarkan Daftar Negatif Investasi (DNI) sektor ritel melalui Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016.

Wakil Ketua Umum Aprindo Tutum Rahanta mengatakan, perlindungan ini dibutuhkan karena revisi DNI di sektor ritel malah semakin melemahkan posisi usaha ritel dalam negeri. Ia menuturkan, saat ini, banyak sekali pelaku usaha ritel luar negeri yang mengantre untuk mendapatkan izin beroperasi hingga ke tingkat kabupaten di dalam negeri.

Tutum menilai, semakin banyak usaha ritel asing menjamur, maka kemampuan investasi pengusaha ritel dalam negeri makin melemah, mengingat perusahaan asing pasti datang dengan kemampuan modal yang mumpuni.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sekarang ini sudah banyak mengantre perusahaan asing yang ingin mendapatkan izin operasional di dalam negeri. Bahkan, berencana masuk hingga ke tingkat kabupaten. Kalau itu terjadi, matilah kami, karena kemampuan investasi mereka makin meningkat," ujarnya ditemui di Gedung Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Senin (26/9).

Hal ini dinilai membahayakan industri nasional, karena barang-barang hasil (output) industri kemungkinan besar tidak bisa dijual di jaringan ritel asing tersebut. Perusahaan ritel asing umumnya ikut membawa produk-produknya untuk dijual di toko tersebut. Bahkan terkadang, usaha ritel itu menghalangi produk dalam negeri untuk masuk ke dalamnya.

"Seperti layaknya jaringan department store asal Jepang atau Korea Selatan, umumnya membawa produk-produk dari negara asalnya untuk dijual di toko yang mereka miliki. Ini kan membahayakan industri dalam negeri, kok produk yang dihasilkan Indonesia tak bisa dijual di Indonesia?" tegas Tutum.

Sejak awal, ia mengaku, Aprindo menolak revisi DNI ini karena dianggap tidak berpengaruh signifikan bagi perekonomian. Pasalnya, usaha ritel adalah usaha jual beli barang, bukanlah jenis usaha yang menciptakan nilai tambah layaknya industri manufaktur.

Apalagi, perusahaan lokal masih punya kemampuan finansial untuk mengembangkan usahanya di Indonesia. Seharusnya, ia mengusulkan, investasi untuk ritel asing jangan dulu dibuka seluas-luasnya.

"Untuk apa membuka DNI sektor usaha ritel? Ini ibaratnya kan cuma jualan saja. Dibilang mampu, kami juga masih punya dana kok. Justru pembukaan DNI ini tidak menguntungkan kami, namun menguntungkan mereka (pengusahaan asing), karena marketnya makin lebar," imbuh dia.

Kendati demikian, Tutum menyadari bahwa revisi DNI tak mungkin dianulir begitu saja. Maka dari itu, asosiasi tengah melobi Kementerian Perdagangan agar jaringan ritel asing tak makin menggurita ke wilayah-wilayah administratif tingkat kabupaten.

"Meskipun sekarang di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) banyak izin usaha yang mengantre, namun kami minta pemerintah untuk berhati-hati saja. Pembicaraan dengan pemerintah masih berlangsung," ucapnya.

Di dalam Perpres 44 Tahun 2016, usaha department store dengan luas 400 hingga 2 ribu meter persegi kini bisa dinikmati asing maksimal 67 persen. Namun, itu perlu disertai beberapa syarat, seperti bertempat di dalam pusat perbelanjaan dan penambahan tokonya didasarkan pada kemampuan ekspor. Sebelumnya, usaha department store bagi asing dibatasi minimal seluas 2 ribu meter persegi saja.

Menurut data BKPM, realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) di sektor perdagangan dan reparasi senilai US$319,5 juta. Nilai ini meningkat 30,14 persen dari periode yang sama tahun lalu sebesar US$245,5 juta. (bir)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER