Jakarta, CNN Indonesia -- PT Bank Central Asia Tbk. (BCA) mencatat adanya lonjakan lebih dari dua kali lipat pada rasio kredit bermasalah (
nonperforming loan/NPL) kotor (
gross) sepanjang sembilan bulan di 2016.
Tercatat, NPL
gross Januari-September 2016 sebesar 1,5 persen. Padahal, pada periode yang sama tahun lalu hanya sebesar 0,7 persen. Alias terjadi kenaikan sampai 114,28 persen.
Secara bersih (
net), NPL hingga kuartal ketiga tahun ini sebesar 0,4 persen atau naik dari posisi yang sama tahun lalu yang tercatat 0,3 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja mengungkapkan, peningkatan rasio kredit bermasalah terutama dipicu oleh perlambatan ekonomi yang menyebabkan nasabah terlambat membayar kredit.
"Dari kredit konsumer, kelihatannya yang terjadi telat-telat bayar, belum ada kendala untuk menjadi macet," tutur Jahja, Rabu (26/10).
Selain itu, sektor industri yang berkontribusi terhadap kredit bermasalah juga berasal dari industri yang terkait dengan rantai produksi (
value chain) pertambangan. Di mana, kata Jahja, porsi kreditnya tak terlalu besar dari keseluruhan portofolio kredit BCA.
Sebagai pengingat, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat rasio kredit bermasalah sektor pertambangan naik nyaris dua kali lipat pada Juli 2016 dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Kondisi ini tidak terlepas dari rontoknya harga komoditas tambang akibat kelebihan pasokan hasil tambang. Akibatnya, pelaku industri tambang kesulitan dalam menyicil pembayaran kreditnya.
Statistik Perbankan OJK melansir, NPL sektor pertambangan sebesar 6,77 persen pada Juli 2016.
NPL sektor pertambangan tersebut melampaui rata-rata rasio kredit macet industri perbankan yang hanya sebesar 3,18 persen atau naik 48 basis poin (bps) dari periode yang sama tahun sebelumnya, yaitu 2,70 persen.
Masih AmanSecara umum, Jahja menilai NPL BCA masih dalam kategori dua atau relatif terjaga.
Hingga akhir tahun, ia memprediksi tren NPL perseroan berpotensi akan stagnan. Pasalnya, Jahja tak melihat ada faktor yang berkontribusi signifikan untuk menurunkan maupun meningkatkan NPL.
"Saya yakin, sampai akhir tahun kurang lebih akan sama karena kami sudah tidak melihat lagi adanya potensi peningkatan dari NPL sampai saat ini," ujarnya.
Kendati NPL naik, BCA masih bisa mencatatkan pertumbuhan kredit. Total penyalurannya (
outstanding) mencapai Rp386,1 triliun pada akhir September 2016 atau naik 5,8 persen (
year on year/yoy).
Kredit konsumer meningkat 8,1 persen (
yoy) menjadi Rp98,5 triliun. Dalam portofolio kredit konsumer, Kredit Pemilikan Rumah (KPR) mencatat pertumbuhan sebesar 7,3 persen (
yoy) menjadi Rp62,2 triliun, Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) naik 9,5 persen secara tahunan menjadi Rp34,6 triliun dan kartu kredit tumbuh 8,6 persen (
yoy) menjadi Rp9,7triliun.
Sementara, kredit korporasi tercatat sebesar Rp133,3 triliun atau naik 5,7 persen. Selanjutnya, kredit komersial dan UKM tumbuh 4,4 persen menjadi Rp146,5 triliun.
Lebih lanjut, naiknya rasio kredit bermasalah diikuti dengan tambahan biaya cadangan sebesar Rp3,1 triliun atau naik 104,2 persen (
yoy) untuk mempertahankan kecukupan cadangan kerugian penurunan nilai aset keuangan. Dengan demikian, rasio cadangan terhadap total kredit bermasalah mencapai 201 persen.
"Kalau bisa dicadangkan sekarang mending kami cadangkan sekarang daripada nanti tidak akan mengganggu lagi tahun depan dari segi beban biaya pencadangan," ujarnya.
Tingginya biaya cadangan juga ditopang oleh kinerja laba perusahaan yang dinilai Jahja cukup baik.
Tercatat, secara tahunan, laba perseroan sebelum biaya cadangan dan pajak hingga kuartal ketiga 2016 tumbuh sebesar 20,5 persen menjadi Rp22, 14 triliun. Sementara, laba bersih masih bisa tumbuh 13,2 persen menjadi Rp15,1 triliun dari Rp13,4 triliun pada periode yang sama tahun lalu.
(gen)