Revitalisasi Industri dan Potret Suram Industri Perbankan

Elisa Valenta Sari | CNN Indonesia
Senin, 31 Okt 2016 17:58 WIB
Rasio biaya terhadap total pendapatan bank di Indonesia yang mencapai 45-50 persen, lebih tinggi dari rata-rata regional yang hanya sekitar 35 persen.
Ketua Perhimpunan Bank-Bank Nasional (Perbanas) Kartika Wirjoatmodjo (kedua dari kanan), yang juga Dirut Bank Mandiri, menilai industri perbankan perlu memikirkan konsolidasi serta strategi bisnis baru untuk menghadapi kondisi ekonomi terkini. (ANTARA FOTO/Irsan Mulyadi)
Jakarta, CNN Indonesia -- Industri perbankan nasional sedang memasuki masa-masa muram. Sejak dua tahun lalu, sektor jasa keuangan ini tidak lagi menikmati manisnya pertumbuhan kredit dan memperoleh laba yang fantastis. Bahkan, sejumlah bank terpaksa harus mengetatkan ikat pinggang dengan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sejumlah pegawainya.

Ketua Perhimpunan Bank-Bank Nasional (Perbanas) Kartika Wirjoatmodjo mengaku prihatin dengan kondisi tersebut. Terlebih di tengah perlambatan ekonomi global dan persaingan bisnis yang ketat, perbankan nasional dituntut untuk melakukan pendalaman pasar keuangan seperti membuka cabang di pelosok Indonesia.

Upaya tersebut jelas menjadikan Indonesia pasar yang menantang bagi bisnis perbankan. Tak jarang bank harus menanggung beban operasional yang tinggi di kala perolehan laba justru menipis.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tantangan tersebut terindikasi dari tingginya rasio biaya terhadap total pendapatan bank (cost efficiency ratio) di Indonesia yang mencapai 45-50 persen. Angka tersebut lebih tinggi dari rata-rata regional yang hanya sekitar 35 persen.

Pria yang juga Direktur Utama Bank Mandiri itu berpendapat, Indonesia tidak mungkin bisa menyamakan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura yang rata-rata rasio efieinsi biayanya hanya 30 persen.

"Tapi saya rasa di Indonesia, di angka 40 persen saja itu sudah optimal. Karena tidak mungkin kita bisa menjangkau seluruh Indonesia," ujarnya, Senin (31/10).

Menurutnya, perlambatan pertumbuhan sektor riil juga menjadi penghambat perbankan untuk mencatatkan kinerja terbaik tahun ini. Ia menyebut, beberapa tahun terakhir ini kualias kredit cenderung menurun sehingga mendorong bank menyisihkan dana pencadangan yang tinggi.

Salah satu cara perbankan untuk bertahan di kondisi tersebut adalah dengan menjaga biaya agar tidak terlalu tinggi. Manajemen biaya dinilai menjadi kunci utama agar bank tidak kolaps menghadapi industri yang melambat.

"Kalau 5-10 tahun terakhir semua orang bisa happy-happy karena pertumbuhan tinggi, nah sekarang ini sudah masuk ke fase pertumbuhan yang agak melambat. Tentunya kita perlu pemikiran baru supaya kita tidak ada overlapping yang akhirnya menimbulkan efisiensi dari bank. Bukan masing-masing bank, tapi secara keseluruhan," jelasnya.

Berangkat dari kondisi tersebut, ia menilai industri perbankan perlu memikirkan konsolidasi serta strategi bisnis baru untuk menghadapi kondisi ekonomi terkini.

"Kalau saya di Perbanas melihat bahwa revitalisasi dari pada arsitektur perbankan atau secara lebih luas arsitektur keuangan Indonesia. Itu jadi krusial lagi karena perubahan market environment-nya itu sangat drastis," katanya. (ags)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER