Pemerintah Siap Rombak Aturan Pembangunan Smelter

Galih Gumelar | CNN Indonesia
Rabu, 02 Nov 2016 13:30 WIB
Rencananya, serapan dana investasi tidak lagi menjadi indikator utama di dalam menghitung tingkat kemajuan pembangunan smelter.
Rencananya, serapan dana investasi tidak lagi menjadi indikator utama di dalam menghitung tingkat kemajuan pembangunan smelter. (CNN Indonesia/Elisa Valenta Sari)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah menyatakan serapan dana investasi tidak akan lagi menjadi indikator utama di dalam menghitung tingkat kemajuan pembangunan (progress) fasilitas pemurnian hasil mineral (smelter). Kebijakan ini rencananya akan diberlakukan pada masa perpanjangan relaksasi ekspor mineral yang dimulai Januari 2017 mendatang.

Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis dan Media, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Fajar Harry Sampurno menjelaskan, bahwa hal itu dibicarakan di dalam rapat tingkat Kementerian Koordinator bidang Perekonomian. Di dalam rapat tersebut, terdapat usulan bahwa indikator utama progress smelter adalah realisasi pembangunan fisiknya.

Pasalnya, terdapat kasus di mana investor telah menyetorkan uang jaminan pembangunan smelter, namun belum melakukan konstruksi sama sekali. Sehingga, aktivitas tersebut sudah bisa dikatakan sebagai sebuah kemajuan pembangunan smelter.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Dari sisi progress-nya akan kami naikkan lagi. Tidak boleh lagi orang ngasih uang jaminan sebagai bagian dari progress. Harus ada building-nya. Kami perlu memastikan bahwa smelter bisa jadi tidak hanya dengan uang jaminan," ujar Fajar saat ditemui di Gedung Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Rabu (2/11).

Ia menjelaskan, progress smelter harus diawasi karena berkaitan erat dengan pengenaan bea keluar ekspor mineral. Ia merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 153/PMK.011/2014 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar

Beleid tersebut menyebut jika kemajuan pembangunan atau serapan dana investasi smelter antara 0 hingga 7,5 persen, maka bea keluar yang dibayarkan sebesar 7,5 persen. Apabila realisasi progress smelter antara 7,5-30 persen, maka membayar bea keluar 5 persen. Sedangkan progress pembangunan lebih dari 30 persen, maka bea keluar yang dibayar 0 persen.

"Kalau sekarang kan progress investasinya makin maju, biaya bea keluar kan makin kurang. Namun belum ada yang mengatur progress fisiknya," ujarnya.

Dengan demikian, ada peluang pemerintah juga akan mengubah PMK acuan pengenaan bea keluar ekspor mineral. Pasalnya, bea keluar dihitung berdasarkan tingkat kemajuan pembangunan smelter sesuai persentase nilai serapan investasi, sesuai pasal 4A PMK Nomor 153 tahun 2014,

Sementara itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara belum mau menanggapi perubahan indikator pengenaan bea keluar tersebut. Ia hanya menyebut, upaya pemurnian hasil mineral juga harus menjamin kesinambungan penerimaan negara.

"Pemurnian dan pengolahan tetap jalan tetapi penerimaan harus bisa diamankan. Detilnya masih didiskusikan," tambahnya.

Kebijakan relaksasi ekspor ini rencananya akan masuk ke dalam revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 tahun 2014. Beleid ini disiapkan untuk mengakomodasi perusahaan tambang yang sedang membangun smelter namun terkendala di sisi arus kas (cash flow).

Karena menurut Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 1 tahun 2014, relaksasi ekspor seharusnya berlaku hanya sampai 2017. (gir/gen)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER