Jakarta, CNN Indonesia -- Membaiknya neraca perdagangan Indonesia dalam beberapa bulan terakhir, nilai tukar yang menguat dan trend penurunan suku bunga dinilai belum memberikan sumbangsih yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi pada kuartal ketiga tahun ini.
Badan Pusat Statistik mengumumkan produk domestik bruto hanya tumbuh 5,02 persen pada periode Juli-September, dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Pencapaian ini bahkan lebih rendah dari kuartal kedua yang tumbuh 5,19 persen secara tahunan.
Ekonom Bahana Securities Fakhrul Fulvian mengatakan kebijakan pemerintah memotong anggaran pada kuartal tiga, sebelum didapatkannya pendapatan tambahan dari
tax amnesty memberikan sedikit perlambatan pada perekonomian.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
''Ke depan, akselerasi belanja pemerintah menjadi sangat penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi," katanya, Senin (8/11).
Investasi hanya tumbuh 4,06 persen secara tahunan, dibandingkan kuartal kedua yang tumbuh sebesar 5,06 persen. Belanja pemerintah turun sebesar 2,97 persen secara tahunan, dibandingkan kuartal dua yang tumbuh 6,23 persen secara tahunan. Sedangkan pertumbuhan ekspor turun 6 persen dari tahun lalu.
''Kami melihat dampak dari penguatan nilai tukar rupiah dan harga komoditas yang mulai membaik belum terefleksi pada data PDB [Produk Domestik Bruto] kuartal III, namun akan terlihat pada pertumbuhan ekonomi dalam dua kuartal kedepan, karena hal ini akan berdampak pada peningkatan daya beli masyarakat yang tercermin pada tingkat konsumsi," jelas Fakhrul.
Ia menjelaskan, konsumsi masyarakat pada kuartal ketiga tumbuh sebesar 5,01 persen dari tahun lalu, relatif stabil degan pertumbuhan kuartal dua yang tumbuh sebesar 5,06 persen secara tahunan.
Konsumsi masyarakat, lanjutnya, masih menjadi kontributor terbesar terhadap PDB, namun belum mampu menutupi penurunan konsumsi pemerintah yang memangkas anggaran belanja sebesar Rp133,8 triliun dalam APBN-P 2016.
Bahana memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan tumbuhan sebesar 5,4 persen pada tahun depan karena ditopang oleh pelonggaran moneter yang masih terbuka hingga tahun depan serta harga komoditas yang membaik akan memberi dampak positif terhadap kinerja ekspor.
Sementara itu dari sisi investasi, Indonesia masih menjadi pasar yang menjanjikan bagi investor, apalagi pemerintah masih terus berupaya untuk memperbaiki iklim investasi.
Pada pertengahan tahun ini, pemerintah sudah mengeluarkan revisi Daftar Negatif Investasi, serta kementerian perekonomian sudah memberikan rumusan baru untuk penentuan upah minimum regional, sehingga investor sudah memiliki kepastian untuk menghitung kenaikan upah buruh di Indonesia.
Apalagi akhir Oktober lalu, lembaga Bank Dunia menaikkan peringkat ease of doing business sebanyak 11 peringkat ke level 109 dari yang sebelumnya Indonesia berada di level 120. Hal ini menunjukkan pemerintah konsisten memperbaiki daya saing di dalam negeri.
''Saat ini rata-rata penduduk Indonesia berusia 29 tahun, dengan tingkat pertumbuhan penduduk sebesar 1,6 persen pertahun, data ini menjadi
sweetener bagi investor untuk berinvestasi di Indonesia karena ini artinya tingkat konsumsi masyarakat masih tinggi," jelas Fakhrul.
(gir/gen)