Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah sedang mengkaji kemungkinan swasta untuk masuk ke dalam proyek-proyek infrastruktur yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk menghasilkan dana yang besar demi membiayai proyek infrastruktur lainnya.
Langkah ini dianggap efektif untuk mengurangi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bagi pendanaan infrastruktur.
Ketua Tim Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP), Wahyu Utomo menjelaskan, saat ini timya sedang mengkaji sebuah sistem pendanaan infrastruktur bernama Limited Concession Scheme (LCS).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di dalam skema ini, nantinya investor swasta harus membayar uang dalam jumlah besar (
upfront cash) di awal kerja sama sebagai "pendapatan diterima di muka" bagi BUMN. Namun konsekuensinya, BUMN terkait harus rela berbagi pengelolaan dengan investor swasta yang dimaksud.
Menurut Wahyu, sistem ini terkesan mengurangi peran BUMN di dalam pengelolaan proyek-proyek penting. Namun, negara bisa mendapatkan dana segar untuk mengembangkan infrastruktur lain yang masih baru (
greenfield project). Tetapi, proyek-proyek yang diajukan untuk menggunakan sistem ini harus proyek besar, agar dapat
upfront cash yang besar.
"Kalau melihat dari fisiknya, LCS ini untuk proyek
brownfield, bagaimana memanfaatkan barang jadi ini untuk membiayai proyek infrastruktur lain," jelas Wahyu di Rapat Kerja Nasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Kamis (17/11).
"Di dalam skema LCS, asetnya masih ada di negara, tapi dikelola bersama-sama dengan swasta dan diberi hak pengelolaan selama bertahun-tahun. Seperti bandara misalkan, PT Angkasa Pura II (Persero) ini masih bisa mengelola, cuma porsinya diperkecil saja."
Ia melanjutkan, skema pendanaan seperti ini sebelumnya sudah sukses dikembangkan di negara lain. Pria yang juga menjabat Deputi Bidang Koordinasi Percepatan Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Kementerian Koordinator bidang Perekonomian ini mencontohkan pengelolaan bandara di Turki sebagai kisah sukses.
"Di awal memang BUMN bandara di situ dapat uang besar dari sistem LCS, lalu dana itu digunakan untuk bangun infrastruktur lainnya. Karena ini berhasil, pola ini digunakan lagi. Kalau ini berhasil, tentu beban pemerintah akan berkurang dan bisa dialihkan untuk sektor lain seperti infrastruktur pedesaan," lanjutnya.
Kendati demikian, ia menyadari jika implementasi sistem ini tidak akan diterima oleh semua pemangku kepentingan. Ia meyakini, Kementerian BUMN pasti tidak akan setuju karena semakin minimnta porsi pengelolaan BUMN, maka pendapatan BUMN akan bekurang, dan setoran deviden kepada pemerintah juga akan menurun.
"Tapi kan ini ada
upfront fee di depan yang bisa buat biayain lain-lain. Kalau hanya melihat dari kacamata dividen, teman-teman di BUMN bilang pasti akan lebih kecil. Tapi uang yang di awal ini bisa buat bangun proyek lain, kita semua perlu melihat ini dari segi yang lebih luas," jelasnya.
Sampai sejauh ini, KPPIP telah berbicara dengan Kementerian Perhubungan dan PT PLN (Persero) untuk membicarakan berbagai proyek
existing yang bisa dikerjakan dengan skema LCS. Wahyu menuturkan, kedua instansi tersebut sepakat untuk mengkaji skema ini lebih jauh lagi.
"Kami sudah bicara dengan Kemenhub, kita usulkan LCS ini bisa diimplementasikan di bandara Soekarno-Hatta. Kalau dibanding negara lain, pendapatan bandara per kapita masih rendah. Ini masih ada
room untuk
improve, karena ini yang besar. Kalau dikerjasamakan dengan swasta pasti uangnya besar. Hanya saja, Menteri Perhubungan minta dikaji dulu," jelasnya.
Sebagai informasi, pemerintah membutuhkan Rp5.519 triliun hingga 2019 untuk mebiayai pembangunan infrastruktur. Sementara itu, dana APBN untuk infrastruktur sekitar Rp300 triliun per tahun atau sekitar Rp1.500 triliun dalam lima tahun. Angka ini hanya cukup membiayai 27,17 persen dari anggaran infrastruktur.
(gir)