Jakarta, CNN Indonesia -- Peran pembiayaan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) di Indonesia masih dikuasai oleh perbankan. Padahal bagi perbankan, sumber dana yang tersedia untuk membiayai KPR umumnya berjangka pendek (tabungan, giro, deposito, dan sebagian dari obligasi), sehingga menimbulkan
maturity mismatch (kesenjangan jangka waktu).
Masalah
maturity mismatch ini, dialami hampir oleh semua negara berkembang dan masing-masing mencari solusi yang cocok dengan kondisi negaranya.
Di Indonesia, kesenjangan pembiayaan ini coba diakali dengan pendirian PT Sarana Multigriya Finansial (Persero) yang dilakukan oleh pemerintah. SMF merupakan perusahaan pembiayaan sekunder yang berperan menangkap dana-dana di pasar modal, melalui penerbitan Efek Beragun Aset-Surat Partisipasi (EBA-SP) yang nantinya bisa disalurkan kepada para penyalur KPR.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tujuannya adalah untuk menambah percepatan volume KPR di Indonesia dalam rangka meningkatkan kapasitas dan kesinambungan pembiayaan perumahan sehingga terjangkau oleh masyarakat, terutama yang berpenghasilan rendah.
Ambisi Presiden Joko Widodo untuk membangun 1 juta unit rumah pun dirasa menjadi peluang bisnis bagi perusahaan yang ekuitasnya mencapai Rp5,3 triliun ini.
Untuk lebih mengenal jauh peran dan tantangan SMF dalam membangun peran sekuritisasi terhadap pembiayaan KPR di Indonesia, CNNIndonesia.com berbincang dengan Direktur Utama SMF Ananta Wiyogo, beberapa waktu lalu. Berikut nukilannya:
Sebenarnya, bagaimana konsep sebuah lembaga pembiayaan sekunder khusus KPR ? Apakah ada peta jalan khusus ?Sebenarnya tidak perlu
roadmap, yang paling gampang kita harus belajar dari negara-negara sekeliling kita yang sudah maju, contohnya adalah Hong Kong dan Korea Selatan.
Mereka sangat maju, semuanya bergulir bagus karena elemen membantu mereka bukan hanya pemerintah tapi bank sentralnya juga. Di Filipina malah perusahaan pembiayaan sekundernya lebih maju dari Indonesia. Mereka tidak perlu lagi bergantung dari bank yang suku bunganya mahal dan sering berubah-ubah.
Apa sebenarnya tantangan utama dalam membumikan peran lembaga pembiayaan seperti SMF? Sepertinya banyak masyarakat yang masih awam akan keberadaan SMF?Kondisi pasar keuangan di Indonesia yang masih dangkal tentu jadi tantangan utama. Kami memperkenalkan konsep sekuritisasi saja sudah beberapa tahun, sampai sekarang nilai sekuritisasi baru mencapai Rp6,1 triliun. Ini kurang menurut saya.
Pola pikir penyalur KPR, baik perbankan maupun perusahaan pembiayaan tentang dana jangka pendek yang lebih murah dari dana jangka panjang menyebabkan sebagian besar penyalur KPR enggan beralih ke sumber pendanaan yang ditawarkan oleh SMF.
Padahal, adanya perbedaan waktu jatuh tempo antara pinjaman KPR, yang umumnya jangka panjang dengan sumber pendanaan jangka pendek menimbulkan risiko likuiditas dan risiko perubahan tingkat suku bunga.
Di Indonesia pembiayaan KPR dirasa masih kurang. Dengan angka kebutuhan rumah yang tinggi, berapa idealnya porsi peran lembaga pembiayaan?Rasio pembiayaan KPR terhadap PDB di Indonesia baru 2,8 persen. Kalau kita lihat di negara lain Malaysia dan Singapura itu sudah 30-40 persen, kita sama Filipina masih kalah, di sana sudah 33,3 persen.
Peran siapa yang harus digali lebih dalam untuk meningkatkan rasio tersebut?Semua pihak yang berhubungan dengan pembiayaan KPR itu harus meningkatkan lagi kapasitasnya. Tantangan mengembangkan bisnis ini adalah bagaimana kita bisa menyediakan dana jangka panjang, tapi bunganya tetap kompetitif.
Kemudian, bagaimana obligasi atau EBA-SP yang diterbitkan bisa likuid di pasar. Apakah EBA-SP bisa dijadikan repo oleh bank sentral? Kalau ini tidak ditindaklanjuti ya, sekuritisasi tidak akan berkembang.
Mengapa masih banyak bank yang enggan menerbitkan EBA-SP?Kebanyakan bank, kalau rata-rata sudah punya aset yang baguis dan
Loan to Deposit Ratio (LDR) belum mentok, mereka enggan merilis EBA-SP. Tapi kalau mereka LDR-nya sudah mentok maka sudah waktunya mereka melirik sekuritisasi untuk pendanaan.
Hingga saat ini SMF telah melakukan sekuritisasi dengan dua bank pelat merah yakni PT Bank Tabungan Negara (BTN) Tbk dan PT Bank Mandiri Tbk dengan nilai masing-masing Rp1 triliun dan Rp465,5 miliar.
Bagaimana strategi SMF untuk menarik lebih banyak bank yang menerbitkan EBA-SP?Perseroan melihat potensi besar yang dimiliki oleh bank daerah untuk memberikan pembiayaan perumahan, khususnya kepada masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah.
Bank-bank besar yang meminimalisir penerbitan obligasi yang prosesnya lebih rumit dan panjang juga merupakan target Perseroan untuk memanfaatkan fasilitas pembiayaan jangka panjang dengan menggunakan surat utang.