Jakarta, CNN Indonesia -- Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menolak sejumlah pasal yang diusulkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam draf revisi Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Wadah para pebisnis nasional tersebut menilai, pejabat KPPU terlihat sangat berambisi menjadikan lembaga itu memiliki kewenangan tidak terbatas atau super power.
Ketua Tim Ahli Apindo Sutrisno Iwantono menjelaskan, usulan revisi pasal-pasal dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 yang disodorkan KPPU karena menilai lembaga tersebut laiknya macan ompong. Sehingga, dalam RUU tersebut dibahas mengenai perluasan kewenangan KPPU lebih dari kewenangannya saat ini sebagai pelapor, pemeriksa, penuntut, dan pemutus suatu kasus persaingan usaha.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sutrisno mengatakan KPPU telah memasukkan perluasan kewenangan untuk dapat menggeledah, menyadap, menyita, memeriksa di tempat dan menjatuhkan hukuman pidana bagi seseorang yang dinilai menghalang-halangi pemeriksaan.
"Dia pelapor, pemeriksa, penuntut dan sekaligus dia menjadi hakim. Nah ini yang terlalu berlebihan, apalagi ditambah dengan memeriksa, menyita, menggeledah, dan menyadap. Ini sudah terlalu berlebihan," ungkap Sutrisno kepada CNNIndonesia.com, Rabu (23/11).
Menurutnya, kewenangan dalam memutuskan sebuah kasus atau posisinya sebagai hakim perlu dipisahkan dan dikembalikan kepada pengadilan. Sehingga, ia mengusulkan untuk membuat pengadilan khusus untuk persaingan usaha.
“Jadi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kalau KPK kan menuntut saja, tapi yang mengadili kan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Jangan orang lapor juga, memeriksa juga, menuntut juga, menghukum juga. Tidak ada di Indonesia itu lembaga yang punya kewenangan begitu. Polisi hanya memeriksa tapi yang menuntut Jaksa. Kalau jaksa menuntut yang menghukum ya hakim. Tapi itu pun masih bisa banding, kalau KPPU kan semua di situ," papar dia.
Selain itu, dalam RUU tersebut juga terdapat mengenai pembahasan denda hukuman akan ditingkatkan dari Rp25 miliar menjadi 30 persen dari omzet suatu perusahaan yang divonis melanggar UU Persaingan Usaha.
Menurutnya, hal tersebut akan mengganggu iklim usaha karena perputaran omzet yang tinggi tidak secara otomatis menghasilkan keuntungan yang tinggi.
"Misalnya saya jual
handphone yang saya beli Rp1 juta, lalu terjual Rp1,05 juta. Berarti kan untung yang sebenarnya hanya Rp50 ribu kan. Jadi saya berpendapat denda penalti itu dihitung berdasarkan
illegal profit saja, keuntungan yang diperoleh oleh pelaku usaha dari perilaku tidak sehat," jelasnya.
Keuntungan dari
illegal profit tersebut yang seharusnya dijadikan sebagai basis untuk mengenakan denda. Ia memberi saran, untuk membuat efek jera, maka pengenaan denda bisa dikenakan sebanyak satu hingga tiga kali. Hal ini juga seperti apa yang diberlakukan di Eropa.
Selanjutnya, Apindo juga tak setuju dengan usulan denda yang dikenakan bagi terlapor yang akan melakukan banding diharuskan menyetor terlebih dahulu denda sebesar 10 persen dimuka. Menurut Sutrisno, jika nantinya terlapor terbukti tak bersalah maka akan sulit untuk kembali menarik kembali uang tersebut.
"Bagaimana menarik kembali uang yang sudah terlanjut masuk ke kas negara? Dan besaran 10 persen dari denda yang berdasar omset usaha bisa menyebabkan gagal operasi. Seharusnya denda dibayar setelah putusan memiliki kekuatan hukum yang tetap," tandas Sutrisno.
Mantan Ketua KPPU periode 2000-2005 ini juga menjelaskan, adanya ancaman hukuman pidana denda hingga Rp2 triliun selama dua tahun akan membuat pelaku usaha trauma dan enggan untuk melakukan investasi di Indonesia.
"Jika investasi berujung pada denda yang sangat tinggi dan penjara, tentu investor akan berpikir ulang untuk melakukan investasi," imbuhnya.
Sementara itu, terkait pembahasan mengenai merger atau akuisisi. Di Indonesia sendiri saat ini perusahaan diharuskan melakukan
compulsary post merger notification atau lapor setelah merger.
Apindo mengusulkan agar sistem diubah menjadi
pre merger notification dengan mengatur juga lamanya waktu dalam prosesnya.
"Jangan sampai prosesnya
complicated memakan waktu panjang dan akhirnya menghambat kegiatan usaha itu sendiri. Sekarang itu bisa tiga bulan tidak selesai-selesai, itu kan bisa yang jual tidak jadi jual, atau yang tadinya udah mau beli jadi tidak jadi," ungkap Sutrisno.
Apindo juga menyoroti perihal mengenai penambahan kewenangan KPPU untuk melakukan tindakan hukum kepada perusahaan asing yang berada di luar negeri atau disebut dengan
extra territory law enforcement. Sutrisno secara tegas berpendapatan adanya perlu kajian ulang mengenai hal ini karena jika KPPU memiliki kewenangan untuk menghukum perusahaan di Amerika yang dianggap merugikan perusahaan di Indonesia, maka KPPU di Amerika pun dapat melakukan hal yang sama.
"Kalau seperti ini kan harus ada perjanjian biasanya dalam bentuk treaty antar negara. Syarat utama adanya harmonisasi penerapan hukum persaingan antar negara yang sifatnua adalah resiprocity," jelasnya.
Jika ini benar-benar diberlakukan, maka Sutrisno tak menapik jika nantinya situasi akan berkebalikan. Bukan KPPU yang banyak menindak perusahaan di luar negeri, melainkan KPPU luar negeri yang banyak menindak perusahaan Indonesia.
"Ya karena lihat saja lebih banyak pelaku usaha dari negara lain seperti Amerika, Jepang, China yang memasarkan produknya di Indonesia dibandingkan pelaku usaha Indonesia yang menjual barang atau jasa di Amerika atau Jepang atau China," paparnya.
Lembaga Pengawas KPPUApindo melihat perlu adanya kode etik dan dewan pengawas KPPU yang merupakan lembaga terpisah dan bukan bersifat
ad hoc. Hal ini dibutuhkan untuk mengawasi agar tak terjadi
abuse of power atau kewenangan yang begitu besar oleh KPPU.
Sutrisno menjelaskan, lembaga ini bukan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), melainkan lembaga profesional. DPR tak memiliki wewenang untuk menjadi lembaga pengawas.
"DPR tugasnya bukan untuk sebagai pengawas, kalau KPPU melapor per tahun itu ya hanya laporan biasa bukan pengawasan," ujar Sutrisno.
Apindo juga tak terima dengan salah satu rancangan pembahasan RUU karena terdapat beberapa pasal yang menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pasal ini ditentukan oleh KPPU. Menurut Sutrisno, peraturan seharusnya tak diatur sendiri oleh KPPU karena akan memberikan kewenangan berlebih hak monopoli tafsir atas UU kepada KPPU.
"Masa peraturan untuk saya, lalu saya yang buat sendiri. Itu kan ya tidak adil," pungkas Sutrisno.
Sebagai informasi, pembahasan RUU ini sudah sampai di Baleg dan diharapkan dapat segera diselesaikan di DPR tahun ini.
"Tahun ini di DPR harus selesai," tegasnya.
(gen)