Jakarta, CNN Indonesia -- Donald Trump, presiden terpilih Amerika Serikat (AS), berencana menarik mundur partisipasinya terkait renegoisasi blok perdagangan bebas kemitraan trans pasifik (Trans Pacific Partnership/TPP). Rencana itu tertuang dalam video yang dirilisnya, belum lama ini.
"Saya akan mengeluarkan notifikasi mundur dari TPP yang berpotensi menghancurkan kami. Jika ingin adil, lakukanlah perdagangan bilateral yang bisa menciptakan pekerjaan, dan membantu industri Amerika Timur," terang taipan properti yang akan dilantik menjadi presiden AS pada 20 Januari 2017 nanti.
TPP merupakan blok perdagangan bebas kemitraan yang diteken oleh 40 persen negara dengan kekuatan ekonomi dunia, seperti AS, Australia, Singapura, Selandia Baru, Chili, Jepang, Malaysia, Kanada, Meksiko, Peru, dan Vietnam pada 5 Oktober 2015.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam kerangka kerja sama ini, negara yang tergabung didalamnya akan menerapkan perdagangan bebas tarif untuk 11 ribu komoditas secara bertahap. Ini merupakan strategi untuk mendorong liberalisasi perdagangan.
Selain akses perdagangan, dokumen kemitraan itu juga mencakup persoalan yang lebih luas, di antaranya soal perlindungan Hak Kekayaan Intelektual, pembentukan institusi Penyelesaian Sengketa Negara dan Investor Asing, pengurangan hak istimewa Badan Usaha Milik Negara, pengadaan pemerintah, hingga konvergensi aturan.
Melihat luasnya cakupan ketentuan TPP, tak ayal 12 negara butuh waktu lebih dari lima tahun untuk berunding dan memastikan ketentuannya bisa diakomodir dari sisi domestik. Bahkan, hingga kini, masing-masing negara masih dalam tahap ratifikasi.
Dibawah kepemimpinan Presiden Barack Obama, AS getol mendorong rampungnya perundingan TPP. Obama berpendapat, jika AS urung meneken pakta TPP, maka negaranya akan dirugikan dalam regional Asia-Pacific.
Pandangan ini berbeda dengan calon pengganti Obama yang menilai TPP justru akan merugikan pasar domestik AS. Bahkan, kontradiktif dengan upaya Trump yang ingin mendorong kinerja industri.
Kiki Verico, Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia menilai, jika AS mundur, kerangka kerja sama TPP dipastikan tidak berjalan.
Soalnya, sesuai ketentuan yang tercantum dalam bab 30 perjanjian TPP, kesepakatan baru berjalan jika enam negara penggagas yang telah menandatangani TPP sukses meratifikasinya dan menguasai 85 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) dari seluruh negara yang menandatangani TPP.
Sementara, AS menguasai setidaknya 60 persen dari total PDB 12 negara tersebut. Di bawah AS, ada Jepang. Namun, Jepang hanya menguasai sekitar 17 persen dari total PDB negara TPP. "Tanpa Amerika Serikat sudah bisa dipastikan TPP tak jalan," tutur Kiki.
Indonesia Tak Siap Gabung TPPIndonesia sendiri sudah menunjukkan minat untuk bergabung dalam TPP sejak tahun lalu. Hal itu disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) disela-sela lawatannya ke negeri Paman Sam tersebut.
Keinginan Indonesia bergabung bukan tanpa alasan. Indonesia ingin menghindari pajak dan bea masuk impor untuk setiap produk yang diekspor ke negara-negara anggota TPP, terutama ke AS yang merupakan pangsa pasar ekspor terbesar bagi Indonesia.
"Kalau tidak masuk blok-blok, produksi dari Indonesia kena pajak 15 persen sampai 20 persen, mau apa kita? Pasti kalah bersaing," imbuh Jokowi di Istana Negara, Jakarta, awal tahun ini.
Ekonom Senior Kenta Institute Eric Sugandi menilai, sebetulnya, dengan atau tanpa AS dalam TPP, Indonesia belum siap untuk bergabung.
"Masih banyak Pekerjaan Rumah (PR) yang harus dikerjakan oleh Indonesia untuk bisa memenuhi standar keanggotaan TPP," tegas Eric.
Sekadar informasi, meskipun TPP bisa membuat produk Indonesia lebih kompetitif di negara tujuan ekspor, namun kenyataannya Indonesia juga mendapat ancaman serbuan impor dari negara anggota TPP.
Selain itu, persyaratan terkait perlindungan hak kekayaan intelektual di negara anggota TPP juga menjadi kendala, mengingat pelanggaran hak cipta maupun peredaran barang bajakan masih banyak beredar di Indonesia.
Alih-alih mengejar keikutsertaan Indonesia dalam TPP, Indonesia sebaiknya fokus untuk menjalin kerja sama perdagangan regional lain. Salah satunya melalui Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP), di mana sebagian anggota TPP juga bergabung di dalamnya.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita sempat menyebutkan bahwa kerangka RCEP bakal lebih strategis dibanding Kemitraan TPP ke depan. "RCEP menjadi akan lebih strategis ke depan dengan kondisi TPP yang pasti akan minimal akan delay," tutur Enggar.
Melalui RCEP, kerangka kerja sama perdagangan bebas ASEAN dengan enam negara besar di kawasan Asia Pasifik Australia, Selandia Baru, China, India, Korea, dan Jepang diyakini bakal lebih baik.
Tahun lalu, 15 negara peserta RCEP mewakili 56,2 persen ekspor Indonesia ke dunia dan 70 impor Indonesia dari dunia. RCEP juga merupakan 48,21 persen sumber investasi asing (Foreign Direct Investment/FDI) bagi Indonesia.
Perundingan RCEP digagas Indonesia pertama kali pada semester pertama tahun 2012. Saat ini, perundingannya telah mencapai 14 putaran dan diperkirakan tahun depan bisa rampung.
Lanjutkan KajianNamun demikian, hingga kini, kerangka TPP masih dikaji oleh pemerintah. Karenanya, pemerintah merasa terlalu dini untuk mengomentari rencana kemunduran AS dari TPP.
"Pada tahap ini, masih terlalu dini untuk berkomentar, " kata Iman Pambagyo, Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan.
Namun demikian, kajian TPP tetap berlanjut untuk melihat praktik kemitraan dagang internasional. "Kajian tetap dilanjutkan. Ada banyak hal yang bisa dipelajari dari international best practice," pungkasnya.
(bir)