Investor Lebih Takut Inkonsistensi Pemerintah Ketimbang Demo

Safyra Primadhyta | CNN Indonesia
Selasa, 29 Nov 2016 18:40 WIB
Investor, menurut Kadin, lebih membutuhkan kepastian karena investasinya bersifat jangka panjang, sehingga kondisi fundamental jauh lebih penting.
Pelaku usaha mengklaim investor asing tidak khawatir terhadap berbagai aksi unjuk rasa yang terjadi di ibukota. (CNN Indonesia/M Andika Putra).
Jakarta, CNN Indonesia -- Pelaku usaha mengklaim investor asing tidak khawatir terhadap berbagai aksi unjuk rasa yang terjadi di ibukota. Dengan catatan, investor yang berinvestasi dalam jangka panjang percaya dengan kondisi fundamental perekonomian nasional.

"Unjuk rasa ini suatu proses demokrasi yang mereka (investor asing) tidak khawatirkan Ini wajar terjadi di semua negara. Di Eropa yang sudah maju saja malah sering demo," tutur Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Rosan Roeslani saat ditemui di Menara Kadin, Selasa (29/11).

Rosan mengungkapkan, Kadin bersama pemerintah kerap bertukar pandangan dengan perwakilan investor dari berbagai negara baik melalui asosiasi maupun perwakilan kedutaan. Kebanyakan dari investor memiliki pandangan jangka panjang.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Mereka bilang bahwa satu, dua, atau tiga kejadian (unjuk rasa) tidak akan membuat surut minat investasi mereka yang sudah ditanamkan di sini. Kebanyakan dari pabrik-pabrik mereka juga lokasinya tidak di Jakarta. Lokasinya di luar Jakarta, di luar Pulau Jawa. Jadi, mereka tetap akan ekspansi, bikin pabrik, dan berinvestasi," terang dia.

Namun, dibandingkan aksi unjuk rasa, kata Rosan, investor lebih takut jika pemerintah tidak konsisten dalam menjalankan kebijakannya. Apalagi, jika kebijakan itu bakal mereduksi kemampuan pengusaha untuk berkembang.

"Yang mereka sangat takutkan adalah kebijakan pemerintah yang tidak konsisten. Itu hal yang lebih mereka dari demo," imbuhnya.

Kebijakan pemerintah yang konsisten, lanjut Rosan, mempermudah pelaku usaha untuk menyusun perencanaan usaha ke depan. Misalnya, investor mengapresiasi keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan sebagai perwujudan Paket Kebijakan Ekonomi IV.

Beleid tersebut mengatur satu formula untuk menghitung besaran kenaikan upah minimum provinsi yang terdiri dari besaran inflasi dan pertumbuhan ekonomi. "Hal ini memudahkan dunia usaha untuk menghitung perkiraan yang lebih terukur dan dalam membuat target pencapaian yang lebih realistis," papar Rosan.

Saat ini, implementasi dari PP 78/2015 menuai kritik dari serikat pekerja. Untuk itu, Rosan menilai, pemerintah tetap harus konsisten dalam menjalankannya dengan memperbanyak sosialisasi mengapa formula tersebut diambil.

"Apabila tidak menggunakan formula yang ada dan menggunakan formula lain yang menaikkan upah secara signifikan, dalam jangka menengah dan panjang justru akan merugikan daerah itu. Kenapa? Daya saingnya akan berkurang," pungkasnya. (bir/gen)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER