ANALISIS

Ketar-ketir Menanti Hasil Rapat Para Juragan Minyak di Wina

Galih Gumelar | CNN Indonesia
Rabu, 30 Nov 2016 08:19 WIB
OPEC bakal mengumumkan keputusan jadi atau tidaknya pemangkasan produksi minyak negara-negara anggotanya pada pekan ini.
OPEC bakal mengumumkan keputusan jadi atau tidaknya pemangkasan produksi minyak negara-negara anggotanya pada pekan ini. (REUTERS/Heinz-Peter Bader)
Jakarta, CNN Indonesia -- Perekonomian dunia kembali siaga pada pekan ini. Pemangku kebijakan hingga korporasi sibuk menanti hasil dari pertemuan antar negara-negara pengekspor minyak (Organization of the Petroleum Exporting Countries/OPEC) yang akan dihelat di Wina, Austria pada Rabu (30/11) pekan ini.

Bahkan, harga minyak dunia ikut berfluktuasi jelang perhelatan tersebut. Dua indeks utama minyak dunia, Brent dan West Texas Intermediates (WTI) bergerak di kisaran US$43 per barel hingga US$53 per barel dalam dua bulan terakhir. Namun, siapa sangka jika semua itu berawal dari obrolan antar anggota OPEC di sela-sela konferensi antar menteri energi di Algiers, Aljazair.

Semua dibuat kaget dengan langkah kartel para juragam minyak dunia itu untuk memangkas produksinya dari rekor saat ini 33,8 juta barel per hari (bph) menjadi 32,5 juta hingga 33 juta bph. Kesepakatan ini rencananya akan diketuk secara mufakat di Wina, hari ini.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Secara persentase, memang pemangkasan produksi hanya sebesar 2 persen. Namun yang lebih mencengangkan, aksi ini adalah yang pertama kalinya dalam delapan tahun terakhir industri minyak dan gas bumi (migas) dunia.

OPEC mungkin sudah jengah dengan harga minyak yang tak kunjung pulih. Bayangkan saja, harga minyak yang tadinya menembus level hampir US$110 per barel langsung terjun bebas ke angka US$20 per barel dalam waktu kurang dari dua tahun. Tentu saja, ini mempengaruhi pundi-pundi negara anggota OPEC yang menggantungkan asa dari penjualan emas hitam.

Arab Saudi, contohnya. Negara kerajaan ini dirpediksi akan mengalami defisit anggaran negara sebesar US$118 miliar mengingat 80 persen penerimaannya berasal dari sektor migas. Setali tiga uang, Venezuela juga harus rela mengurangi anggaran belanjanya karena minyak mengambil porsi 96 persen dari ekspor dan 40 persen penerimaan negara.

Namun, bagaimana bisa keresahan segelintir negara itu bikin gaduh perekonomian seluruh dunia?

Dengan jumlah anggota sebanyak 14 negara, OPEC sendiri tercatat menguasai 43 persen produksi dan 73 persen cadangan minyak dunia. Arab Saudi terbilang sebagai aktor utama di kartel ini dengan produksi mencapai 10 juta barel per hari, atau hampir mencapai 30 persen dari total produksi negara-negara anggota OPEC lainnya.

Indonesia sendiri bisa dibilang sebagai anak bawang di organisasi yang dibentuk tahun 1960 tersebut. Sempat membekukan keanggotaan di tahun 2009, Indonesia bergabung kembali di tahun 2016 setelah sempat minder karena merasa tidak lagi menjadi eksportir melainkan importir aktif.

Kendati demikian, sangat aneh melihat keikutsertaan Indonesia di dalam organisasi pengekspor minyak ini. Jangankan ekspor, memenuhi kebutuhan minyak dalam negeri sendiri saja masih sesak. Namun, pemerintah memastikan keanggotaan OPEC saat ini adalah untuk mencari persediaan minyak dengan "harga teman".

Perlu dicatat, kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia sebesar 1,5 juta bph, sedangkan produksinya hanya 830 ribu bph. Dengan kata lain, Indonesia justru mengimpor minyak demi memenuhi kebutuhannya.

Mungkin atas dasar itulah pemerintah tak mau ambil pusing dengan pertemuan OPEC. Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, sebaiknya Indonesia ambil kursi "wait and see" saja dengan keputusan negara-negara anggota lain yang produksinya terbilang jumbo.

Mungkin ia sadar, produksi minyak Indonesia yang hanya 2,5 persen dari produksi OPEC tidak cukup untuk memberikan daya tawar yang menonjol. Sehingga, ia pun enggan membicarakan dampak pemangkasan produksi ini terhadap perekonomian tanah air.

"Kita tunggu saja," kata Darmin singkat, kemarin.

Sementara itu, Direktur Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) I Gusti Nyoman Wiratmaja menjelaskan, produksi minyak Indonesia akan terus menurun tanpa disuruh.

Hal itu terlihat dari target minyak siap jual (lifting) tahun depan yang hanya sebesar 815 ribu bph dari target tahun ini 820 ribu bph. Bisa jadi, pemerintah sadar pemangkasan produksi tidak akan berpengaruh signifikan jika terdapat sinyal setuju dari Austria.

Namun, satu hal yang perlu dicermati dari pemangkasan produksi OPEC adalah kemungkinan naiknya harga minyak dunia. Kondisi ini bisa membawa berkah, namun bisa juga berbuah bumerang bagi dompet negara.

Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani menyebut, harga minyak adalah variabel utama penentu Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) migas. Jika harga minyak bergerak positif, maka PNBP migas bisa menjulang.

Ketar-ketir Menanti Hasil Rapat Besar Juragan Minyak di WinaDirjen Anggaran Kemenkeu Askolani (tengah) berharap penerimaan negara bukan pajak dari penjualan minyak bisa terkatrol harga pasca kesepakatan OPEC. (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)


Ia menuturkan, PNBP migas 10 tahun yang lalu bisa menyentuh angka Rp200 triliun dengan harga minyak yang berada di kisaran US$100 per barel. Sayangnya, kelezatan menikmati PNBP migas harus pupus karena harga minyak jatuh ke kisaran US$40 per barel dan membuat PNBP migas tahun ini hanya Rp68,8 triliun.

Namun, harga minyak bukanlah satu-satunya obat di dalam menaikkan PNBP. Upaya lain tentu saja dengan menaikkan lifting minyak, sehingga hasilnya bisa terasa signifikan. Sayang, ia juga mengeluhkan kondisi saat ini, di mana cadangan migas yang signifikan di dalam negeri belum ditemukan lagi.

Maka dari itu, tak heran jika pemerintah memupuskan asa dari PNBP migas di masa depan dan mengutamakan pajak sebagai generator penerimaan negara. Jika dulu PNBP migas bisa berkontribusi 30 persen dari pendapatan, mungkin dalam jangka pendek kontribusinya hanya 10 hingga 15 persen saja.

"Jika cadangan baru tidak segera ditemukan, kami meramal kontribusi PNBP migas tidak bisa signifikan lagi,” ujar Askolani.

Di sisi lain, naiknya harga minyak juga bisa menciptakan harga BBM yang melonjak. Wakil Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Ahmad Bambang mengatakan, harga minyak memang sangat berpengaruh terhadap harga bahan bakar. Namun menurutnya, masyarakat tak perlu menyalakan mode panik yang berkepanjangan.

Ia menjelaskan, harga minyak tak mungkin memantul kembali ke kisaran US$100 per barel dan diperkirakan hanya bertahan di level US$60 per barel saja. Pasalnya, persediaan minyak dunia masih melimpah, apalagi produksi shale oil di Amerika Serikat tak menunjukkan tanda-tanda melambat. Sehingga, masyarakat tak perlu risau harga BBM langsung meroket.

"Kalau harga tinggi, shale oil produksi lagi. Harga mungkin akan jatuh lagi setelah itu," jelas pria yang populer disapa Abe.

Ketar-ketir Menanti Hasil Rapat Besar Juragan Minyak di WinaWakil Dirut Pertamina Ahmad Bambang tidak yakin harga minyak bisa naik lagi menembus US$100 per barel, setelah OPEC mengeluarkan fatwa pemangkasan produksi. (ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma)


Produksi minyak Indonesia memang tidak signifikan. Cadangan besar pun belum terlihat di pelupuk mata. Jika pemangkasan produksi jadi diterapkan, toh produksi minyak Indonesia memang sedang tak menunjukkan perbaikan. Kecuali, memang anggaran negara dan roda perekonomian Indonesia ditopang oleh komoditas yang berasal dari pelapukan hewan zaman purbakala tersebut.

Jika pemangkasan produksi tidak jadi dilakukan, tentu saja keadaan akan sama seperti sekarang. Sehingga, apapun pilihan OPEC nantinya, seharusnya tidak perlu diikuti kekhawatiran atau kegembiraan di dalam negeri.

Mungkin, tidak elok juga bagi Indonesia untuk ikut-ikutan pusaran OPEC dan drama di sekitarnya. Silahkan saja negara-negara anggota OPEC lainnya kebakaran jenggot, selama hal itu tidak mengganggu Indonesia dalam mencapai misinya, yaitu mendapatkan minyak dengan harga miring. (gen)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER