Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyatakan risiko perlambatan ekonomi China memiliki dampak lebih besar dibandingkan risiko implementasi kebijakan Donald J. Trump usai resmi menjabat Presiden Amerika Serikat (AS) tahun depan.
“Dari semua risiko ekonomi kita, risiko dari China, risiko AS, plus risiko domestik, ternyata yang paling besar dampaknya pertama adalah moderasi ekonomi China, kedua risiko dari AS, dan ketiga adalah risiko dari domestik,” tutur Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang P.S. Brodjonegoro dalam konferensi pers di kantornya, Kamis (8/12).
Bambang mengungkapkan, perlambatan ekonomi China dipicu oleh naiknya utang dan kredit bermasalah (NPL) di negara tirai bambu tersebut. Hal itu menurutnya akan berdampak pada tertahannya investasi. Hal ini sejalan dengan keinginan China untuk melakukan transisi dari perekonomian yang ditopang oleh investasi ke arah konsumsi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tidak hanya berdampak negatif bagi Indonesia, perlambatan ekonomi China berpotensi menekan pertumbuhan negara lain, khususnya mitra dagang dan negara-negara penghasil komoditas.
Hasil simulasi Bappenas menunjukkan, jika skenario perlambatan ekonomi China terjadi tahun depan, maka ekonomi Indonesia akan melambat 0,72 persentase poin (pp) dari basis pertumbuhan ekonomi (
baseline) tahun depan.
Dampak terbesar akan dirasakan oleh arus investasi yang akan turun sebesar 1,02 pp.
Berikutnya, perlambatan ekonomi China juga akan berdampak aktivitas ekspor-impor. Diperkirakan, pertumbuhan impor akan terkoreksi sebesar 0,76 pp dan ekspor turun 0,71 pp. Selanjutnya, pertumbuhan konsumsi rumah tangga akan turun 0,68 pp, dan konsumsi pemerintah minus 0,09 pp.
Sementara, jika Trump menjalankan seluruh kebijakan sesuai dengan yang dijanjikannya saat kampanye, ekonomi Indonesia tahun depan akan merosot 0,41 pp. Sumber penurunan terbesar berasal dari investasi yang diperkirakan akan turun 0,89 pp seiring dengan kemungkinan keluarnya investasi dalam negeri ke AS.
Beberapa janji kampanye Trump diantaranya pemotongan pajak kalangan berpenghasilan tinggi, kebijakan perdagangan yang lebih proteksionis terhadap China dan Meksiko, meningkatkan upah minimum dan kebijakan pemulangan imigran ilegal.
“Meskipun saya yakin impelementasi kebijakan Trump tidak akan seekstrem itu tapi kita harus memperhitungkan segala kemungkinan,” ujarnya.
Selanjutnya, dari sisi domestik, Bappenas memperkirakan jika sektor swasta geraknya masih terbatas yang diindikasikan oleh rendahnya pertumbuhan kredit dan risiko kaniakan NPL yang terus berlanjut, pertumbuhan ekonomi tahun depan akan turun 0,34 pp. Sumber penurunan terbesar berasal dari sektor investasi yang diperkirakan bisa turun 1,01 pp.
Risiko domestik lainnya juga berasal dari pola penyerapan anggaran pemerintah yang cenderung menumpuk di akhir tahun. Jika tahun depan pemerintah pola penyerapan anggaran negara, maka pertumbuhan ekonomi bisa naik sebesar 0,14 pp.
Menurut Bambang, pemerintah bisa melakukan beberapa langkah untuk mengantisipasi dampak negatif dari berbagai risiko tahun depan, antara lain dengan cara:
1. Menjaga stabilitas politik dan keamanan pada awal tahun 2017 menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)
2. Mendorong penurunan suku bunga dasar kredit dengan terus menjaga tingkat inflasi.
3. Terus melakukan reformasi struktural yang bisa meningkatkan produktivitas perekonomian secara keseluruhan
4. Memperbaiki pola penyerapan dari tingkat realisasi anggaran infrastruktur dengan tidak ditumpuk di akhir tahun.
5. Melaksanakan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan yang sesuai dengan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero).
6.Menjajaki dan membangun perjanjian ekonomi secara bilateral dengan AS, seiring dengan rencana Trump untuk keluar dari Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA) dan membatalkan Kemitraan Trans Pasifik (TPP).
(gen)