Google Empaskan Upaya Pemerintah Negosiasi Setoran Pajak

Safyra Primadhyta | CNN Indonesia
Selasa, 20 Des 2016 12:15 WIB
Google menolak untuk memberikan data pendukung yang menyatakan penghasilannya dari Indonesia hanya sebanyak Rp3 triliun saja tahun lalu.
Google menolak untuk memberikan data pendukung yang menyatakan penghasilannya dari Indonesia hanya sebanyak Rp3 triliun saja tahun lalu. (Dok. Setpres)
Jakarta, CNN Indonesia -- Negosiasi besaran tunggakan pajak yang harus dibayarkan perusahaan teknologi asal Amerika Serikat (AS) Google dengan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) menemui jalan buntu.

Dalam negosiasi yang digelar pekan lalu, kedua belah pihak tidak menemukan kata sepakat terkait nilai pajak yang harus dibayarkan Google, melalui perpanjangan tangan usahanya di Singapura yaitu Google Asia Pasific Pte. Ltd.

“Upaya settlement sudah tertutup,” kata Muhammad Haniv, Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) DJP Jakarta Khusus saat ditemui di kantornya, Selasa (20/12).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Haniv mengungkapkan Google tidak terbuka dalam menyampaikan data keuangan yang dibutuhkan pemerintah untuk melengkapi pemeriksaan.

Menurutnya, manajemen Google hanya memberikan catatan dari bagian akuntansi yang menyatakan pendapatan usahanya dari Indonesia hanya sebesar Rp3 triliun tahun lalu.

Sementara jika disandingkan dengan data yang dimiliki DJP, pemerintah menduga perusahaan tersebut mampu meraup Rp6 triliun dari seluruh pendapatan lini bisnisnya di Indonesia.

Karenanya, Haniv meminta Google untuk memberikan data pendukung terkait yang sayangnya tidak juga diberikan oleh perusahaan itu.

“Prosedurnya dari catatan yang sudah diberikan, maka kami harus cek mana data pendukungnya. Ini semua tanpa data pendukung,” keluhnya.

Menurut Haniv, perwakilan Google menolak besaran pajak yang ditagih oleh pemerintah, dan mengusulkan angka yang lebih rendah.

Sayangnya, Haniv enggan menyebutkan berapa besaran pajak yang diusulkan oleh kedua belah pihak.

Sebelumnya, kata Haniv, pihaknya telah meningkatkan status Google ke dalam pemeriksaan bukti permulaan sejak September lalu.

Namun, proses pemeriksaan terhenti setelah Google menunjukkan itikad baik dengan membuka pintu negosiasi. Dengan buntunya negosiasi tersebut, maka mau tidak mau pemerintah akan melanjutkan pemeriksaan dari bukti-bukti permulaan yang telah digenggam.

Pemeriksaan bukti permulaan kata Haniv akan dilakukan untuk tahun pajak dalam lima tahun ke belakang. Sesuai ketentuan perundang-undangan, jika Google akomodatif, maka nilai pajak yang harus dibayarkan adalah utang pajak ditambah denda sebesar 150 persen dari utang pajaknya.

“Jumlahnya bisa mencapai lebih dari Rp5 triliun,” kata Haniv.

Sementara, jika Google tak kunjung membuka diri, maka peraturan perundang-undangan mengizinkan pemerintah untuk menaikkan status pemeriksaan Google ke status pemeriksaan penuh (full investigation) di mana sanksi dendanya naik menjadi 400 persen.

Tolak Penetapan BUT

Selain itu, Haniv menuturkan perusahaan pencari terbesar di dunia itu juga kukuh menolak ditetapkan sebagai Badan Usaha Tetap (BUT) yang merupakan bagian dari perencanaan pajak agresif yang dilakukan.

Dengan demikian, pemerintah akan kesulitan untuk mengenakan pajak atas penghasilan Google karena Google merasa tidak memiliki kewajiban membayar pajak atas penghasilannya yang diperoleh dari Indonesia.

Sesuai Pasal 2 ayat (5) Undang-undang (UU) Pajak Penghasilan (PPh), BUT atau Permanent Establishment (PE) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau badan yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia.

BUT bisa berupa tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel, gudang, ruang untuk promosi dan penjualan, pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi, hingga pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan.

Sebelumnya, pemerintah pernah menaksir kewajiban pajak Google bisa mencapai Rp450 miliar per tahun dengan asumsi margin keuntungan yang diperoleh di kisaran Rp1,6 triliun hingga Rp1,7 triliun per tahun. Margin tersebut diperoleh atas perkiraan penghasilan sekitar Rp5 triliun per tahun.

“Di Australia penghasilan iklannya (Google) itu sampai US$6 miliar atau sekitar Rp78 triliun. Di kita, nilai pasar iklannya US$830 juta, separuhnya dikuasai Google. Jadi [penghasilan] Google sendiri bisa US$415 juta, ya sekitar di atas Rp5 triliun,” kata Haniv dalam wawancara terpisah. (gen)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER