Jakarta, CNN Indonesia -- Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LD FEBUI) menilai langkah pemerintah menaikkan rata-rata cukai rokok sebesar 10,54 persen perlu dilapisi dengan kebijakan pembatasan akses rokok terhadap masyarakat.
Abdillah Ahsan, Wakil Kepala LD FEBUI mengungkapkan, pembatasan akses ini dapat dilakukan dengan memperketat izin iklan rokok di semua media informasi, baik di media siaran hingga papan iklan di sudut-sudut jalan besar.
"Kenaikan cukai rokok ini harus dibarengi dengan instrumen pelarangan rokok lainnya, misalnya pembatasan iklan rokok agar akses informasi masyarakat terhadap rokok tak seluas saat ini," ungkap Abdillah kepada CNNIndonesia.com, Rabu (4/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Abdillah menjelaskan, pemerintah memang telah melancarkan sejumlah kebijakan untuk membatasi ruang gerak perokok, seperti mengurangi kawasan merokok yang dilakukan oleh pemerintah daerah, pemberian informasi kesehatan bergambar, hingga menaikkan cukai rokok.
Namun, akses informasi merupakan hal utama yang perlu dibatasi pemerintah. Ia menilai, akses informasi terhadap rokok saat ini masih sangat terbuka sehingga memungkinkan informasi produk rokok merasuki masyarakat.
Ia juga menilai, data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (DJBC Kemenkeu) yang menyebutkan terjadi penurunan produksi rokok sebanyak enam miliar batang sepanjang tahun lalu, belumlah memuaskan.
"Penurunan produksi rokok tersebut memang bagus, artinya ada sedikit pengurangan konsumsi juga. Tapi penurunannya belum signifikan. Nyatanya konsumsi rokok masih tinggi," ujarnya.
Abdillah bilang, seharusnya kenaikan cukai dan kebijakan pembatasan rokok yang dilakukan pemerintah sekitarnya bisa menurunkan konsumsi rokok sekitar tujuh persen setiap ada kebijakan baru.
Namun, dari data penurunan produksi rokok milik DJBC Kemenkeu, hanya terjadi penurunan enam miliar batang atau sekitar 1,72 persen saja dari total produksi rokok per tahun sebanyak 348 miliar batang.
Adapun perang terhadap rokok, lanjut Abdillah perlu semakin dikencangkan oleh pemerintah karena rokok menjadi komponen pengaruh terbesar kedua terhadap garis kemiskinan di Indonesia.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, rokok memberi kontribusi sekitar 10,7 persen atau kedua setelah beras terhadap garis kemiskinan Indonesia yang pada September 2016 berada dikisaran Rp361.990 per kapita per bulan.
"Seharusnya untuk mengurangi tingkat kemiskinan dengan mengalihkan pengeluaran untuk rokok menjadi untuk membeli beras. Tapi nyatanya rokok belum bisa dilepas masyarakat miskin," jelasnya.
Oleh karenanya, ia berharap pemerintah mengencangkan ikat pinggang dalam melawan peredaran rokok yang berdampak besar pada tingkat kemiskinan dan kesehatan masyarakat.
(gir/gen)