Jakarta, CNN Indonesia --
Bursa Efek Indonesia (BEI) menegaskan penawaran umum saham perdana (initial public offering/IPO) perusahaan-perusahaan asing paling cepat baru bisa dilakukan pada 2018 mendatang.
Direktur Penilaian Perusahaan BEI Samsul Hidayat menilai, proses IPO tercepat yang bisa dilakukan tiga dari 52 perusahaan asing yang akan go public dalam waktu dekat, yakni paruh kedua tahun ini. Asal tahu, perusahaan-perusahaan asing tersebut merupakan emiten bursa di Malaysia, Singapura, Sydney, dan New York.
Waktu yang relatif lama bagi perusahan asing untuk melantai di bursa dalam negeri, kata Samsul, dikarenakan sebagian dari tiga perusahaan tersebut juga belum melakukan pencatatan saham di luar negeri.
"Mereka masih kalkulasi, bagaimana mekanismenya, dan mereka juga yang jelas harus ada kalkulasi dalam internal perusahaan,” ujarnya, Jumat (6/1).
Selain itu, perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia memang tidak bisa seenaknya menggelar IPO. Mereka membutuhan skema Sertifikat Penitipan Efek Indonesia (SPEI) atau Indonesia Depository Receipt (IDR).
Namun demikian, Samsul menjelaskan, mekanismenya tak akan jauh berbeda dengan perusahaan lokal yang ingin IPO. “Ya, sama saja. Mereka gunakan sertifikat penitipan efek Indonesia. Itu mekanisme perusahaan asing yang ingin tercatat di Indonesia,” imbuhnya.
Sekadar informasi, peraturan terkait SPEI diluncurkan oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK), yang sekarang bersulih nama menjadi Otoritas Jasa Keuangan, pada 1997 silam tentang Penawaran Umum SPEI.
Sayangnya, sejak beleid itu dirilis, belum ada perusahaan asing yang memanfaatkan hal tersebut hingga saat ini. Saat ini, OJK sedang menginisiasi untuk memperbarui aturan terkait hal tersebut untuk disesuaikan dengan kondisi saat ini.
“Mungkin, sudah out of date. Jadi, ada beberapa regulasi yang diperbaiki. Mereka juga minta masukan ke kami, kira-kira apa yang mesti disempurnakan untuk aturan SPEI itu,” terang Samsul.
Yang pasti, sambung dia, pemerintah tak menutup kemungkinan untuk memberikan kemudahan bagi perusahaan asing untuk go public. Ini bahkan sesuai arahan Menteri Keuangan Sri Mulyani bahwa BEI merupakan pilar ekonomi negara, sehingga pemerintah akan fokus untuk membuat kebijakan yang memudahkan bagi calon emiten.
"Makanya Bu Menteri dan Pak Jusuf Kalla waktu itu menyatakan bahwa mereka akan mencoba untuk membantu mendorong perusahaan-perusahaan untuk melantai di BEI," jelasnya.
Insentif Bukan Penggerak
Terkait penawaran insentif mendorong perusahaan asing yang melantai di bursa dalam negeri, menurut Samsul, bukan sesuatu yang urgent. Keputusan IPO dianggap berdasarkan kebutuhan perusahaan, terlebih lagi ada beberapa manfaat yang akan diterima oleh perusahaan setelah menyandang status sebagai emiten.
"Insentif itu menjadi minor ketika misalnya mereka menyatakan mereka ingin mencatatkan di sini. Lalu, selain perusahaan yang dapat benefit (manfaat), sebenarnya dari sisi pemerintah, juga banyak sekali, termasuk tertib pajaknya,” tutur dia.
Sekadar informasi, salah satu perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS), PT Freeport Indonesia berencana untuk IPO, di mana Freeport Indonesia juga memiliki komitmen divestasi saham kepada Indonesia sebesar 30 persen hingga 2019 mendatang.
Saat ini, pemerintah baru memiliki 9,36 saham Freeport Indonesia. Artinya, masih sekitar 20 persen lebih saham yang perlu dilepas oleh Freeport Indonesia untuk menunaikan kewajibannya mendivestasikan saham hingga 30 persen.
Sebelumnya, Kepala Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nurhaida menyatakan, pihaknya mendengar kabar keinginan Freeport Indonesia untuk IPO, tetapi Freeport Indonesia belum menyampaikannya secara formal.
"Kalau kami lihat kebutuhan dari perusahaan untuk bisa lebih dengan menjadi perusahaan terbuka, mungkin mereka memikirkan ke arah sana, tapi secara formal belum ada pernyataan,” pungkasnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT