Jakarta, CNN Indonesia --
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berhasil meyakinkan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bahwa skema kontrak bagi hasil produksi (Production Sharing Contract/PSC)
gross split memberi kepastian soal Penerimaan Negara Bukan Pajak Minyak dan Gas Bumi (PNBP Migas).
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan, skema
gross split ini memasukkan komponen yang bergerak fluktuatif, seperti harga minyak dunia dan pergerakan produksi migas. Menurutnya, dua faktor itu adalah dua risiko utama yang sangat mempengaruhi penerimaan negara.
Jika keduanya dimasukkan ke dalam hitungan bagi hasil produksi, diharapkan pemerintah bisa mengestimasi penerimaan negara yang tepat. Oleh karenanya, kontrak ini dianggap lebih baik dibanding PSC cost recovery, mengingat sistem sebelumnya tidak menyertakan harga minyak dan produksi di dalam hitungan split-nya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Apakah Indonesia bisa meng-quantify dua risiko tersebut di dalam bisnis hulu ini? Jawabannya mungkin bisa, dan itu harus jadi faktor yang menjadi dasar split. Karena kedua hal tersebut tidak bisa ditebak pergerakannya," jelas Arcandra, Kamis (19/1).
Lebih lanjut ia menyebut, Kemenkeu pun menyadari jika harga minyak dan produksi sangat berpengaruh terhadap PNBP migas.
Lampu Hijau Sri Mulyani
Arcandra bilang, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga khawatir bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan terganggu jika pemerintah tidak bisa memitigasi risiko dari harga minyak dan pergerakan produksi. Atas dasar itu, akhirnya Kementerian ESDM mendapat lampu hijau dari Kemenkeu untuk mengimplementasikan PSC
gross split.
"Harga minyak dan produksi tidak ada yang bisa prediksi, ini big risk. Debat ini sampai ke Kemenkeu. Ibu Sri Mulyani bilang, 'Kalau Bapak bicara seperti itu kami gemetaran, bagaimana kepastian soal APBN kita?' Makanya, kami ubah sistem PSC agar ada kepastian soal penerimaan negara," tambahnya.
Di samping itu, Arcandra juga meyakinkan Kemenkeu bahwa pemerintah tak perlu mengeluarkan uang untuk mengganti cost recovery. Pasalnya, bagi hasil produksi ini ditetapkan di awal dan tidak mengikutsertakan biaya operasional migas yang dikeluarkan Kontraktor Kontrak Kerja sama (KKKS).
"Sekarang, mau cost berapa pun yang dikeluarkan KKKS, sudah bukan urusan APBN lagi. Regardless of the cost, penerimaan negara sudah pasti aman karena bagi hasil ditetapkan di awal produksi," jelasnya.
Lebih lanjut, implementasi
gross split diharapkan bisa terasa ke penerimaan negara mulai tahun ini setelah pemerintah menandatangani kontrak baru blok Offshore North West Java (ONWJ) kepada PT Pertamina (Persero). Tak hanya penerimaan negara, ia yakin implementasi
gross split ini juga bisa berpengaruh ke angka cost recovery tahun ini.
"Namun kami belum bisa jelaskan berapa angkanya. Dipelajari dulu," terangnya.
Sebagai informasi, pemerintah akhirnya mengubah rezim PSC cost recovery menjadi
gross split yang tercantum di dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 Tahun 2017. Di dalam beleid itu, pemerintah menetapkan split dasar bagi produksi minyak sebesar 57 persen bagi pemerintah dan 43 persen bagi KKKS. Sementara itu, split dasar bagi produksi gas terbilang 52 persen bagi negara dan 48 persen bagi KKKS.
Komponen harga minyak dan produksi menjadi komponen progresif yang mempengaruhi split. Jika harga minyak di bawah US$40 per barel, maka KKKS mendapat tambahan split 7,5 persen. Jika harga minyak di antara US$70 per barel hingga US$85 per barel, maka KKKS tidak diberikan tambahan split.
Sementara jika harga minyak menyentuh US$115 per barel ke atas, maka giliran pemerintah mendapat tambahan split sebesar 7,5 persen.