Jakarta, CNN Indonesia -- Institute for Development of Economic and Finance (Indef) menilai Amerika Serikat (AS) akan merugi jika Donald Trump menjalankan kebijakan proteksionisme terhadap barang-barang yang berasal China. Karenanya, rencana kebijakan tersebut diyakini hanya akan menjadi sebatas retorika.
"Dugaan saya, kebijakan itu hanya akan sebatas retorika karena dari kebijakan itu yang akan merugi adalah AS sendiri," tutur peneliti Indef Eko Listianto saat dihubungi
CNNIndonesia.com, Jumat (20/1).
Seperti diberitakan sebelumnya, dalam hitungan jam, Trump akan dilantik menjadi Presiden AS ke-45. Salah satu retorika kampanye yang diusungnya adalah peningkatan proteksionisme perdagangan AS. Salah satunya dilakukan dengan menaikkan tarif impor barang yang berasal dari Meksiko sebesar 35 persen dan Negeri Tirai Bambu sebesar 45 persen. Tujuan kebijakan itu adalah untuk memacu perekonomian AS.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Diharapkan, jika produk China lebih mahal, pasokan produk bisa diisi oleh produsen AS. Pada akhirnya, hal itu akan meningkatkan investasi dan membuka lapangan kerja. Di saat yang bersamaan, kenaikan harga produk asal China juga akan mendorong inflasi yang bisa mempercepat kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS.
Kendati demikian, Eko menilai, upah tenaga kerja AS lebih tinggi dibandingkan upah tenaga kerja China. Akibatnya, jika AS memaksa untuk menggantikan produk asal China, biaya produksi akan semakin tinggi dan tidak efisien.
Pada akhirnya, inflasi yang terjadi bukan karena kenaikan daya beli masyarakat AS tapi karena kurangnya pasokan dan naiknya harga. Dampaknya, daya beli penduduk AS akan semakin tergerus.
Jika Trump nekat tetap akan memberlakukan kebijakan tersebut, Eko sangsi kebijakan itu hanya akan diterapkan pada China dan Meksiko karena hal itu merupakan kebijakan diskriminatif. Dengan kata lain, bisa jadi Trump akan menerapkan hambatan perdagangan serupa pada mitra dagangnya yang lain, termasuk Indonesia.
Akibatnya, ekspor dari Indonesia ke AS bisa menurun. Tak hanya itu, turunnya ekspor dari China juga berpotensi menurunkan ekspor bahan mentah dan energi dari Indonesia. Terkait besaran penurunanya, Eko masih belum bisa memprediksi karena tergantung kebijakan Trump nantinya.
Sebagai informasi, AS merupakan negara tujuan ekspor terbesar bagi Indonesia. Tahun lalu, ekspor Indonesia ke AS mencapai US$15,68 miliar atau sekitar 11,94 persen dari total ekspor non migas, US$131,35 miliar. Sementara, China menduduki posisi kedua di angka US$15,09 miliar atau berkontribusi sebesar 11,49 persen dari total ekspor.
(gir)