Jakarta, CNN Indonesia -- November 2016 lalu, taipan realestat bernama Donald Trump sukses menciptakan awan ketidakpastian yang menyelimuti banyak negara kala berhasil mengungguli rivalnya, Hillary Clinton dalam Pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS) ke-45.
Sejak saat itu, setiap belahan dunia memasang kuda-kuda sembari menerka kebijakan yang akan dilakukan Trump saat resmi memimpin AS, negara adidaya itu. Sebab, di masa kampanyenya, Trump kerap menyuarakan kepentingan AS di atas segalanya dan 'menjaga' Negeri Paman Sam dari negara lain.
Perihal 'menjaga' di sektor ekonomi, Trump bilang akan menerapkan kebijakan proteksi perdagangan, terutama membatasi impor dari beberapa mitra dagang AS. Trump ingin memutar kembali roda industri dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan warga AS.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kebijakan tersebut setidaknya ampuh menjawab rasa cemas para mitra dagang AS, termasuk Indonesia. Namun, sekali lagi, dunia harus bersabar menanti kepastian akan kebijakan Trump, setidaknya sampai ia resmi dilantik dan menguasai Gedung Putih.
Kemudian tibalah Jumat (20/1), hari yang paling dinanti oleh banyak pasang telinga dari seluruh penjuru dunia, baik pendukung Trump hingga pembenci Trump, untuk mendengarkan langsung pidato pertamanya.
"Mulai saat ini dan selanjutnya, hanya akan ada satu AS dan AS yang utama," kata Trump di hadapan warga AS usai mengucap sumpah menjadi penumpang tetap pesawat kenegaraan
Airforce One.
"Kita akan membuat AS kuat lagi, kita akan membuat AS makmur lagi, kita akan membuat AS membanggakan lagi, dan bersama, kita akan membuat AS hebat lagi," ucapnya menutup pidato pertamanya.
Pidatonya tersebut memang tak secara langsung menyebut kebijakan ekonomi apa yang akan dijalankan rezimnya. Namun, ‘AS yang utama' rupanya cukup mencerminkan bila Trump serius mengakomodir dan menjaga kepentingan warga AS.
 Presiden AS Donald Trump tampil ke hadapan publik usai dilantik. (REUTERS/Carlos Barria |
Sean Spicer, juru bicara Trump menguatkan dugaan kebijakan ekonomi yang akan diambil Trump. Ia menyebut, kemungkinan Trump akan segera menyetujui upaya negosiasi kembali Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (North American Free Trade Agreement/NAFTA) dengan Kanada dan Meksiko.
Bila Trump sepakat dengan NAFTA, AS akan mengerek tarif masuk yang selama ini hampir nol persen diberlakukan terhadap produk-produk manufaktur impor dari Kanada dan Meksiko.
Center of Reform on Economic (CORE) menilai, Indonesia sebagai mitra dagang AS masih memiliki potensi pertumbuhan ekspor ke AS sekalipun Trump berhasil bernegosiasi dengan NAFTA.
"Kemungkinan pengenaan tarif yang lebih tinggi untuk produk-produk manufaktur dari Indonesia lebih kecil dibandingkan negara yang memperoleh tarif lebih rendah, atau yang sudah dibebaskan seperti Meksiko," ujar Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif CORE.
Menurutnya, produk-produk manufaktur dari Indonesia saat ini sudah dikenakan tarif yang cukup tinggi di AS. Bahkan, tarif tersebut telah melebihi tarif bea masuk yang dikenakan atas barang impor yang masuk ke Indonesia (tarif
Most Favourable Nations/MFN) yang rata-rata di atas 10 persen.
Oleh karenanya, CORE melihat, AS tak akan mengerek tarif bea masuk impor dari Indonesia terlalu tinggi bila dibandingkan dengan apa yang akan diterapkan Trump terhadap produk impor dari Kanada dan Meksiko.
Impor SubtitusiMeski dinilai lolos dari jeratan tarif tinggi untuk produk manufaktur impor dari Indonesia yang berusaha diterapkan Trump terhadap NAFTA. Namun, CORE menilai, Indonesia perlu berhati-hati dengan komoditas impor subtitusi AS, seperti minyak kelapa sawit (
Crude Palm Oil/CPO).
 Produsen CPO asal Indonesia harus bersiap menjadi target kebijakan bea masuk AS. (ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan) |
Pasalnya, komoditas impor subtitusi AS tersebut berpeluang dikenakan kebijakan restriktif, khususnya dalam bentuk non-tarif. Selintas, kebijakan non-tarif mungkin tak membebani ekspor CPO Indonesia ke AS. Namun, di sisi lain, ada bayang-bayang hambatan non-tarif.
"Hambatan non-tarif di As justru sangat banyak dan bervariasi," imbuh Faisal.
Berdasarkan laporan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) tercatat, ada sekitar 4.780 jenis hambatan non-tarif yang diberlakukan AS. Bila dibandingkan dengan Indonesia, hambatan non-tarif ini sangat banyak. Sebab Indonesia hanya memasang 272 jenis hambatan non-tarif.
Untuk itu, pemerintah perlu mengantisipasi potensi kebijakan tersebut terhadap kinerja ekspor komoditas CPO. Sebab, berdasarkan data Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) tercatat, AS menjadi salah satu negara tujuan ekspor CPO dari Indonesia, dengan nilai ekspor mencapai 1,2 miliar ton sepanjang 2016 lalu.
Khusus untuk CPO, setidaknya pemerintah bisa mengalihkan pompa ekspor ke beberapa negara lain, yang juga merupakan tujuan ekspor utama CPO Indonesia, seperti India, China, Belanda, dan Pakistan.
Namun begitu, Faisal menilai, kebijakan restriktif impor juga berpotensi melemahkan industri domestik AS karena harga bahan baku yang terlalu tinggi. Pasalnya, AS membutuhkan bahan baku dan bahan penolong dari negara lain untuk mengenjot industri manufaktur melakukan hilirisasi.
"Kalaupun Trump melakukan restriksi impor, kebijakan ini akan diterapkan secara selektif, yaitu pada produk-produk yang memiliki industri subtitusi impor yang dipandang kompetitif," tutur Faisal.
Upah MurahSelain pertimbangan perjanjian dagang dan impor subtitusi yang akan diterapkan AS, rupanya Indonesia masih memiliki potensi ekspor yang besar ke AS, setidaknya untuk industri yang mempekerjakan buruh dengan upah murah.
Rencana Trump meningkatkan upah buruh yang relatif tinggi dianggap tak akan mampu membangun industri manufaktur atau padat karya yang kompetitif. Pasalnya, upah yang tinggi justru akan membatasi investasi yang selanjutnya justru menjadi bumerang pada penciptaan lapangan kerja.
Adapun upah minimum AS saat ini sangat tinggi bila dibandingkan beberapa negara. AS mematok upah minimum mencapai US$7,25 per jam. Sementara China hanya US$1,8 per jam dan Meksiko US$0,4 per jam. Sedangkan rata-rata upah pekerja di sektor manufaktur AS saat ini sebesar US$20,7 per jam, China US$3,9 per jam, dan Meksiko hanya US$2 per jam.
Imbasnya, AS diperkirakan tak mampu memenuhi kebutuhan buruh industri padat karya dan tetap mengimpor produk-produk manufaktur, seperti hasil industri tekstil dan produk tekstil (TPT) serta alas kaki dari negera berupah buruh murah, seperti Vietnam dan Indonesia.
 Industri tekstil Indonesia dinilai bisa memanfaatkan kebijakan upah tinggi pekerja di AS yang akan dijalankan Trump. (CNN Indonesia/Puput Tripeni Juniman) |
Adapun hal ini selaras dengan kinerja ekspor tekstil Indonesia ke AS selama 2016 yang masih cukup bagus sehingga masih mungkin meneruskan pertumbuhan ekspor TPT ke AS.
"Kontribusi tekstil dan produk tekstil serta alas kaki mencakup 31 persen dari total ekspor Indonesia ke AS," kata Faisal.
Sementara berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai perdagangan Indonesia-AS mencapai US$19,27 miliar sepanjang Januari-Oktober 2016 lalu. Sedangkan ekspor non-migas Indonesia-AS sebesar US$15,68 miliar di Januari-Desember 2016 atau meraup 11,94 persen pangsa pasar impor dibandingkan negara lain, seperti China 11,49 persen dan Jepang 10,06 persen.
Hanya saja, Faisal menggarisbawahi potensi ekspor TPT serta alas kaki ke AS bisa tetap bergairah bila pemerintah mampu mengantisipasi persaingan produk dari negara yang memiliki upah buruh industri lebih rendah.
"Dikhawatirkan sebenarnya adalah pangsa pasar ekspor Indonesia untuk produk-produk serupa dari negara-negara yang memiliki tingkat upah lebih rendah, seperti Vietnam dan Bangladesh," jelas Faisal.
(gen)