Jakarta, CNN Indonesia -- Gerakan massa yang tergabung dalam kelompok kepentingan berbasis radikal di Indonesia semakin menjamur belakangan ini. Patut diduga, tingginya tingkat ketimpangan ekonomi antara si kaya dan si miskin menjadi perangsang utama masyarakat kelas bawah untuk bergabung dengan kelompok-kelompok tersebut
Dalam bahasa akademis, angka ketimpangan pengeluaran dua kelompok masyarakat tersebut tercermin dari koefisien gini. Semakin tinggi angka koefisien gini suatu negara, maka semakin tinggi tingkat ketimpangan yang ada.
Hal tersebut dibenarkan oleh Kepala BPS Suhariyanto yang menjelaskan setiap gerakan radikalisme maupun terorisme memiliki muara permasalahan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Kalau kita tarik ke belakang, melihat akar permasalahannya itu banyak sekali. Salah satu faktornya adalah miskin atau timpang sehingga pelaku tidak merasa bagian dari negara ini, merasa tersisihkan," tutur Suhariyanto, dalam konferensi pers di kantornya, Rabu (2/1).
 Masyarakat miskin mudah dirayu untuk bergabung dengan kelompok radikal. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
Pria yang kerap disapa Ketjuk menuturkan, BPS mencatat rasio gini Indonesia pada September 2016 adalah 0,394. Angka ini turun tipis dari rasio gini Maret 2016 yang sebesar 0,397.
Sementara, jika dibandingkan dengan perhitungan rasio gini September 2015 sebesar 0,402, rasio gini September 2016 turun sebesar 0,008 poin.
Menurut Ketjuk, turunnya angka ketimpangan Indonesia sampai bulan kesembilan lalu disebabkan oleh tiga faktor.
Pertama, ada kenaikan pengeluaran per kapita kelompok bawah dan menengah lebih cepat dibanding kelompok atas. Tercatat, kenaikan pengeluaran 40 persen masyarakat golongan bawah sebesar 4,56 persen, 40 persen menengah mencapai 11,69 persen. Sementara, kenaikan pengeluaran 20 persen penduduk teratas hanya sebesar 3,83 persen.
Kedua, ada peningkatan jumlah dan persentase penduduk yang bekerja dengan status berusaha sendiri/dibantu pekerja tidak dibayar yang merupakan kelompok terbesar pada kelas menengah. Hal tersebut sebagai dampak dari pengembangan usaha mikro, kecil,dan menengah.
BPS mencatat selama periode Agustus 2015 hingga Agustus 2016, terjadi peningkatan jumlah pekerja yang berusaha sendiri/dibantu pekerja tidak dibayar dari 37,7 juta menjadi 39,5 juta. Sementara, untuk lapangan usaha industri pengolahan, konstruksi, perdagangan, dan angkutan peningkatannya jauh lebih tinggi lagi yaitu sebesar 9,44 persen dari 18 juta menjadi 19,7 juta.
Ketiga, ada kenaikan pengeluaran kelompok bawah yang dipengaruhi oleh pembangunan infrastruktur padat karya dan beragam skema perlindungan dan bantuan sosial dari pemerintah di bidang pendidikan, kesehatan, dan kesejahteran.
Jika dirinci berdasarkan tempat tinggal, rasio gini di daerah perkotaan pada September 2016 tercatat sebesar 0,409, atau turun 0,001 poin dibanding gini rasio Maret 2016, dan minus 0,01 poin jika dibanding periode yang sama tahun lalu.
Selanjutnya, rasio gini di daerah pedesaan pada September 2016 adalah sebesar 0,316, lebih rendah dibandingkan posisi periode yang sama tahun sebelumnya, 0,329.
 Ilustrasi gerakan radikal di Indonesia. (CNN Indonesia/Andry Novelino) |
"Kalau dilihat tren dari waktu ke waktu, dari sejarah, memang ketimpangan kota selalu lebih tinggi daripada pedesaan. Karena gap di antara lapisan penduduk kota memang tinggi. Di pedesaan relatif sama karena sebagian besar bekerja di pertanian, agak beda dengan kota," jelasnya.
Buka Lapangan KerjaLebih lanjut, Ketjuk mengungkapkan, cara untuk menekan angka ketimpangan pengeluaran adalah dengan menekan ketimpangan kesempatan antara si miskin dan si kaya. Dalam hal ini, ketimpangan kesempatan untuk memperoleh akses pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja, dan modal.
 Koefisien gini hanya bisa ditekan jika pemerintah memberikan peluang kerja bagi masyarakat miskin. (CNN Indonesia/Artho Viando) |
"Kalau ketimpangan kesempatan itu bisa diturunkan, artinya, kita memberikan
equal access kepada masyarakat baik kota dan desa," ujar Ketjuk.
(gen)