Tarif Listrik Energi Baru Hapus Disparitas Biaya Produksi

CNN Indonesia
Jumat, 03 Feb 2017 09:41 WIB
Tarif jual listrik energi baru dan terbarukan kini diatur sebesar 85 persen dari Biaya Pokok Produksi (BPP) regional.
Tarif jual listrik energi baru dan terbarukan kini diatur sebesar 85 persen dari Biaya Pokok Produksi (BPP) regional. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan perhitungan baru tarif pembelian listrik pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT) melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2017 Tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Listrik. Peraturan ini menetapkan harga pembelian listrik yang dilakukan oleh PT PLN (Persero) terhadap tujuh jenis pembangkit EBT.

Ketujuh jenis pembangkit tersebut terdiri dari tenaga surya, bayu, air, biomassa, biogas, panas bumi, dan sampah. Tarif jual listrik yang diatur sebesar 85 persen dari Biaya Pokok Produksi (BPP) regional.

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jarman menyebut, angka ini didapat dari rerata BPP nasional selama tahun 2015 yang telah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Di dalam perhitungan tersebut, ada disparitas yang cukup dalam antara BPP tertinggi dengan terendah.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut data Kementerian ESDM, BPP tertinggi berada di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan biaya US$0,16 per Kilowatt-Hour (KWh). Sementara BPP terendah berada di Jawa Barat dengan besaran US$0,05 per KWh. Jika dilakukan rerata, maka BPP nasional tercatat sebesar US$0,07 per KWh.

"BPP ini ada yang di atas rata-rata BPP nasional dan ada juga yang di bawah. Maka dari itu, kami buat tarifnya berdasarkan BPP pembangkit yang ada di daerah tersebut, bukan dengan BPP nasional," ujar Jarman di Kementerian ESDM, Kamis (2/2).

Lebih lanjut ia menyebut, formulasi ini hanya berlaku di daerah-daerah yang memiliki BPP regional di atas rata-rata nasional. Jika BPP regional di bawah rata-rata nasional, maka pembelian listrik EBT tetap dikenakan sesuai BPP provinsi tersebut.

Sesuai data BPP di tahun 2015, terdapat 13 provinsi yang memiliki BPP di atas rerata nasional, diantaranya Nusa Tenggara Barat, Maluku, Papua, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur.

"Dengan ini, kami harap BPP bisa lebih efisien. Cost-nya lebih affordable," katanya.

Melengkapi ucapan Jarman, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan, ketentuan harga patokan pembelian harga energi berdasarkan biaya produksi EBT (feed in tarriff) yang ditetapkan di dalam Permen-Permen sebelumnya masih tetap akan berlaku.

Namun mengutip pasal 23 beleid ini, Permen mengenai tarif listrik masing-masing EBT berlaku jika tidak bertentangan dengan peraturan terbaru

"Sesuai Permen ini, peraturan tarif masih berlaku asal tidak bertentangan. Nantinya, jika harganya masih lebih besar dari formulasi ini, maka akan gugur dengan sendirinya," pungkas Rida.

Menurut data PLN per November 2016, saat ini pembangkit EBT tercatat 5.953 MW atau 11 persen dari total kapasits pembangkit nasional 54.015 MW. Pemerintah sendiri menargetkan pemanfaatan EBT sebesar 23 persen di dalam bauran energi (energy mix) di tahun 2025 sesuai Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER