Pemerintah Ingin 'Kawinkan' SVLK dan FSC di Industri Kayu

CNN Indonesia
Selasa, 07 Feb 2017 09:43 WIB
SVLK bersifat wajib atau mandatory bagi industri berbahan dasar kayu, sedangkan sertifikat FSC bersifat sukarela tergantung dengan permintaan pasar.
SVLK bersifat wajib atau mandatory bagi industri berbahan dasar kayu, sedangkan sertifikat FSC bersifat sukarela tergantung dengan permintaan pasar. (ANTARA FOTO/Adeng Bustomi)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) berencana menduetkan dua sertifikasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dan Forest Stewardship Council (FSC) dalam industri kayu demi mencegah penebangan kayu secara ilegal.

"Dua sertifikasi itu sama bagusnya untuk menjaga hutan tetap lestari," kata Direktur Jenderal Pengelolaan Produk Hutan Lestari Kementerian LHK Ida Bagus Putera Pertama, dikutip Selasa (7/2).

Meski memiliki tujuan yang sama untuk mencegah pengrusakan hutan, namun Ida Bagus menyebut keduanya memiliki posisi yang berbeda.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

SVLK bersifat wajib atau mandatory bagi industri berbahan dasar kayu, sedangkan sertifikat FSC bersifat sukarela tergantung dengan permintaan pasar.

"Jadi misal sudah memiliki FSC tetap wajib memiliki SVLK," kata dia.

Sebaliknya, lanjut Ida Bagus, bagi industri mebel atau kerajinan kayu yang telah memiliki sertifikat SVLK, pemerintah akan memberikan kemudahan untuk mengurus sertifikat FSC.

"Kami berharap pengusaha tetap mengurus FSC. Karena SVLK hanya diakui oleh Uni Eropa," kata dia.

Menurut Ida Bagus, jumlah perusahaan yang telah memiliki SVLK mencapai 2.400 pelaku industri berbahan kayu, 168 perusahaan hutan alam, serta 172 perusahaan hutan tanaman.

"SVLK ini sebetulnya tidak mahal, jika jauh sebelum mengurus SVLK berbagai perizinan sudah dimiliki oleh pelaku industri," kata dia.

FSC Indonesia Representative Hartono Prabowo mengatakan sinkronisasi atau titik temu skema pengurusan SVLK dengan FSC memang menjadi bahasan tersendiri dalam "Indonesia Stakeholders Meeting FSC" yang berlangsung di Yogyakarta hingga 10 Februari 2017 mendatang.

Hartono mengakui FSC memang menerapkan standar yang lebih ketat, dibanding SVLK. Menurut dia, FSC yang paling banyak diminati oleh pembeli dari Eropa sebaiknya tidak dipandang semata-mata sebagai persyaratan untuk menembus pasar melainkan harus ditujukan untuk kelestarian alama dan keberlanjutan produksi kayu di masa mendatang.

"Sekarang skemanya masih akan kami bahas bersama pemerintah agar dua sertifikat ini tidak dianggap memberatkan para pelaku industri kayu," kata dia.

Menurutnya, selain menyamakan skema pengurusan dua sertifikasi itu, penyelenggaraan "Indonesia Stakeholders Meeting FSC" juga untuk membuka peluang memberikan sertifikasi bagi lebih banyak industri dengan produk berbasis hutan di Indonesia.

Perwakilan FSC Indonesia Business Development Indra Setia Dewi mengatakan acara itu ditujukan untuk memfasilitasi para pemangku kepentingan dalam menentukan skema sertifikasi hutan dan lacak balak (chain of custody) di Indonesia.

"Kami mengundang berbagai unsur dari pemerintah diwakili Dirjen Pengelola Hutan Lestari. Dari perusahaan ada HPH, HTI. SPP, APRIL, pengelola hutan rakyat, TetraPark, serta Civil Society," kata dia.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER