Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah meminta Organisasi Standarisasi Kehutanan atau Forest Stewardship Council (FSC) mengevaluasi aturan sertifikasi produk hutan buatan tahun 1994 atau '1994 rule'. Aturan yang dibuat FSC ini dinilai sudah tidak sesuai dengan kondisi Indonesia saat ini.
"Karena aturan ini menjadi hambatan terbesar bagi industri di Indonesia untuk bisa disertifikasi oleh FSC," ujar Direktur Jenderal Pengelolaan Produk Hutan Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ida Bagus Putera, dikutip dari kantor berita
Antara, Rabu (8/2).
Menurut Ida Bagus, sesuai aturan tersebut FSC tidak akan mensertifikasi lahan hutan tanaman industri (HTI) yang dikonversi setelah tahun 1994. Padahal, sebagian besar HTI di Indonesia baru dibangun setelah 1994.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Maka itu, pemerintah berusaha membantu dengan mengusulkan ke FSC agar syarat deforestasi dalam 1994 rule itu diubah. Ini juga akan menunjang penetrasi FSC di Indonesia," katanya.
Di sisi lain, FSC pun menyadari usulan pemerintah tersebut memang perlu diperhatikan, mengingat hal ini menjadi persoalan besar bagi industri hasil hutan di Indonesia. Bahkan, bagi perusahaan-perusahaan besar Indonesia yang selama ini merasa sangat sulit disertifikasi di bawah peraturan tersebut.
Perwakilan FSC untuk Indonesia, Hartono Prabowo mengatakan lembaga nirlaba internasional yang memiliki wewenang memberikan sertifikasi produk hasil hutan ini memang sedang melakukan proses evaluasi terhadap aturan itu.
"Kalau FSC hanya mengandalkan hutan alam saja, jelas sangat sulit bagi dunia bisnis untuk memenuhi permintaan produk kayu dunia," kata Hartono.
Evaluasi terhadap '1994 rule' juga menjadi upaya FSC untuk bersikap lebih adil. Menentukan standar dengan memerhatikan kondisi lokal, salah satunya di Indonesia, adalah cara bersikap adil.
"Terlebih, saat ini FSC masih menggunakan standar global terhadap semua negara," jelasnya.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Forest FSC Kim Carstensen memastikan perusahaan-perusahaan berbasis hasil hutan asal Indonesia yang telah mengantongi SVLK berpeluang sangat tinggi memperoleh sertifikasi dari lembaganya.
"Sebab, perusahaan tersebut tidak perlu memulai dari nol lagi dan dianggap telah mengerti standar-standar dalam manajemen hutan yang baik," kata Carstensen.
Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), katanya, merupakan basis dasar bagi semua industri hasil hutan di Indonesia dalam memastikan legalitas bahan yang mereka ambil dari hutan. Apalagi, lanjutnya, untuk mendapatkan sertifikasi SVLK harus melalui proses pemeriksaan aspek legalitas yang sangat ketat.
"Artinya mereka sudah mencatat sebuah langkah besar. Jadi, tak akan sulit bagi mereka untuk mendapatkan sertifikasi FSC," imbuhnya.