Penyerapan Gas untuk Pembangkit Listrik Belum Maksimal

Galih Gumelar | CNN Indonesia
Kamis, 16 Feb 2017 19:10 WIB
Minimnya penyerapan tersebut disebabkan karena gas hanya dibutuhkan untuk sebagai tenaga cadangan jika pembangkit mencapai beban puncak.
Minimnya penyerapan tersebut disebabkan karena gas hanya dibutuhkan untuk sebagai tenaga cadangan jika pembangkit mencapai beban puncak. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) menyatakan realisasi penyerapan gas domestik bagi kebutuhan pembangkit listrik tenaga gas pada tahun lalu lebih kecil dibanding angka komitmen sesuai Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG). Sehingga, terjadi kelebihan persediaan gas yang disebabkan kurang optimalnya penyerapan tersebut.

Kepala Divisi Komersial Gas SKK Migas Sampe L. Purba menjelaskan, minimnya penyerapan tersebut disebabkan karena gas hanya dibutuhkan untuk sebagai tenaga cadangan jika pembangkit mencapai beban puncak (peaker) dan bukan sebagai tenaga utama untuk mendukung beban dasar pembangkit (base load).

Padahal lanjutnya, kebutuhan gas bagi PT PLN (Persero) sudah tercantum di dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2016 hingga 2025.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Akibat dari hal tersebut, terdapat 197 BBTUD gas yang tidak diserap sektor ketenagalistrikan, atau sebesar 23,12 persen dari total alokasi gas sesuai PJBG bagi pembangkit sebesar 852 BBTUD di tahun 2016.

Alokasi gas tersebut dihasilkan dari Kangean Energy Indonesia Ltd, PetroChina International Jabung Ltd, Energi Mega Persada (EMP) Bentu Ltd, JOB PT Pertamina (Persero)-Talisman Jambi Merang, hingga ConocoPhillips Grissik Ltd.

"Tingkat permintaan sudah dipatok sekian banyak di RUPTL. Kalau tidak terjadi, maka akan ada mismatch sisi supply dan demand. Memang, saat ini ada ketidakpastian penyerapan gas dari PLN karena gas ini bukan untuk pembangkit base load, tapi hanya untuk peaker," terang Sampe, Kamis (16/2).

Karena penyerapan yang belum optimal bagi listrik, Sampe mengatakan bahwa kapasitas fasilitas regasifikasi ikut menjadi tidak maksimal. Pasalnya, penggunaan gas alam cair (Liquefied Natural Gas/LNG) bagi kebutuhan pembangkit mengambil 90 persen penggunaan LNG di Indonesia.

Saat ini, baru terdapat empat fasilitas regasifikasi di Indonesia, yaitu Arun, Lampung, Muara Tawar, dan Benoa dengan total kapasitas mencapai 1.090 MMSCFD.

"Karena sebagian besar LNG ini digunakan untuk listrik, maka ketidakpastian penyerapan dari listrik juga akan berpengaruh ke kinerja regasifikasi, mereka jadi belum full capacity," jelas Sampe.

Ia menjelaskan, pasokan gas dari dalam negeri sebenarnya sanggup untuk memasok seluruh pembangkit listrik tenaga gas di Indonesia. Namun di dalam RUPTL, PLN memberikan prioritas bagi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan angka 50 persen dari bauran energi (energy mix) di tahun 2025 mendatang.

"Tentu penyerapan gas dari hulu akan sangat maksimal jika RUPTL dibuat sedemikian rupa. Kalau dibilang sanggup, tentu saja hulu sanggup memasok gas bagi pembangkit," kata Sampe.

Sebagai informasi, pasokan gas bagi ketenagalistrikan berada di angka 1.021,7 BBTUD pada tahun 2016. Angka ini mengambil porsi 14,61 persen dari pemanfaatan gas di Indonesia sebesar 6.991,4 BBTUD.

Sebagai informasi, kebutuhan gas bagi pembangkit di dalam RUPTL PLN 2016 hingga 2025 sendiri tercatat 4.337 BBTUD dan bisa menghidupi pembangkit listrik sebesar 44.234 megawatt (MW).

Energi gas diharapkan bisa menyumbang 24,3 persen terhadap bauran energi nasional. Bahkan, angka tersebut bisa bertambah menjadi 29,4 persen jika kontribusi Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sebesar 25 persen tidak tercapai. (gir)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER