Jakarta, CNN Indonesia -- Pemberlakuan skema kontrak bagi hasil produksi (
Production Sharing Contract/PSC)
gross split sebagai pengganti
cost recovery dianggap tidak manjur menarik investasi hulu migas ke Indonesia. Pasalnya, angka keekonomian proyek hulu migas menggunakan PSC
gross split berbeda jauh dibandingkan
cost recovery.
Senior Research Manager Wood Mackenzie Ashima Taneja mengatakan, menghilangkan skema
cost recovery memang menggugah Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dalam melakukan eksplorasi. Utamanya, eksplorasi bagi lapangan migas marginal dan laut dalam. Pasalnya, ada jaminan pemerintah dalam pengendalian biaya pengembangan lapangan migas.
Namun menurutnya, sistem
gross split hanya bisa berlaku jika KKKS menekan biaya operasionalnya serendah mungkin. Mengacu hasil riset institusi, biaya operasional di lapangan gas perlu ditekan sebesar 75 persen agar keekonomiannya bisa sesuai dengan rezim sebelumnya. Sementara itu, KKKS setidaknya harus mengurangi biaya operasional sebesar 10 persen agar keekonomiannya sama seperti skema
cost recovery.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sehingga menurut Taneja, sistem PSC
gross split kurang bisa diaplikasikan bagi lapangan migas terpencil dan laut dalam karena biaya pengembangannya jauh lebih tinggi dibanding lapangan lain. Padahal, pemerintah sedang mengembangkan lapangan migas Indonesia di wilayah yang dimaksud.
"Analisis kami menemukan bahwa sistem
gross split memiliki dampak buruk terhadap keekonomian proyek hulu migas. Dibutuhkan pemangkasan produksi yang ketat agar tingkat pengembaliannya sama seperti rezim sebelumnya. Ini akan menghambat investasi utamanya bagi pengembangan lapangan migas yang membutuhkan biaya besar," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Kamis (9/3).
Selain itu, ia yakin investor tidak akan suka dengan sistem
gross split karena periode balik modal (
payback period) juga terbilang lebih lama. Pasalnya, tidak adanya pemulihan biaya-biaya operasional dari pemerintah kepada KKKS membuat bagian produksi pemerintah terbilang lebih besar.
Menurut hasil riset perusahaan, penerimaan negara melalui skema
gross split bisa didapatkan di muka (
upfront) di tahun pertama. Sementara itu, melalui skema PSC
cost recovery, pemerintah baru bisa menerima penerimaan pasca royalti mulai tahun ke-enam setelah produksi.
"Kalau memang KKKS ingin memiliki tingkat pengembalian (
return) yang sama, maka tentu saja harus menurunkan kembali biaya operasionalnya," tambahnya.
Untuk itu, ia berkesimpulan bahwa KKKS akan mengalami angka
Net Present Value (NPV) yang negatif dan penurunan tingkat pengembalian internal (
Internal Rate of Return/IRR) jika tidak melakukan efisiensi. Atas dasar ini pula, KKKS ditakutkan enggan untuk melakukan eksplorasi di lapangan laut dalam.
"Keekonomian proyek menjadi negatif di bawah skema
gross split," tutur Taneja.
Sebagai informasi, pemerintah akhirnya mengubah rezim PSC
cost recovery menjadi
gross split yang tercantum di dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 Tahun 2017.
Gross split sendiri adalah skema bagi hasil produksi migas, di mana split antara pemerintah dan KKKS dilakukan tepat setelah produksi migas bruto dihasilkan.
Sistem ini berbeda dengan PSC
cost recovery, di mana
split antara pemerintah dan KKKS akan dilakukan setelah produksi bruto dikurangi produksi tertentu dari sebuah blok migas (
First Tranche Petroleum/FTP) dan pemulihan biaya produksi migas yang dikeluarkan KKKS (
cost recovery).
Di dalam beleid tersebut, pemerintah menetapkan
split dasar bagi produksi minyak sebesar 57 persen bagi pemerintah dan 43 persen bagi KKKS. Sementara itu,
split dasar bagi produksi gas terbilang 52 persen bagi negara dan 48 persen bagi KKKS.
(gen)