Jakarta, CNN Indonesia -- Persediaan minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) Malaysia per Februari 2017 berada di posisi terbawah dalam enam tahun terakhir, yaitu 1,46 juta ton. Hal itu dinilai bakal mengerek harga komoditas tersebut dan juga saham perusahaan yang memproduksinya.
Analis Mandiri Sekuritas Yudha Gautama mengatakan, stok CPO Malaysia anjlok karena produksi yang turun secara bulanan dan konsumsi domestik yang kuat, yang ditambah dengan faktor ekspor yang lemah.
“Kami masih positif pada sector CPO karena ekspentasi permintaan yang membaik ke depannya, yang akan didukung oleh aktivitas return stocking,” ujarnya dalam riset, Senin (13/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan data Malaysian Palm Oil Board (MPOB), persediaan CPO Malaysia merupakan yang terendah dalam 6 tahun terakhir atau sejak Februari 11. Angka itu juga lebih rendah daripada prediksi konsensus 1,48 juta ton, dari 1,54 juta ton pada Januari 2017.
“Konsumsi domestik Februari 2017 kuat yaitu 0,27 juta ton, naik 71,3 persen secara tahunan, naik 47,3 persen secara bulanan,” jelasnya.
Ia menjelaskan, meskipun produksi CPO Malaysia turun secara secara bulanan, produksi 1,26 juta ton CPO pada Februari 2017 tercatat naik 20,7 persen secara tahunan. Angka itu juga lebih tinggi daripada prediksi konsensus 1,22 juta ton.
“Per dua bulan pertama 2017, produksi CPO naik menjadi 2,54 juta ton atau sebesar 16,7 persen secara tahunan. Kami meyakini Februari akan menandai berakhirnya musim panen yang rendah, sehingga kami memprediksi ada pembalikan pada tren produksi secara bulanan dalam beberapa bulan ke depan” kata Yudha.
Yudha menambahkan, ekspor CPO Malaysia dibukukan 1,11 juta ton, naik 1,7 persen secara tahunan, tetapi turun 14 persen secara bulanan. Jumlah itu di luar ekspektasi konsensus 1,13 juta ton.
“Ekspor yang turun secara secara bulanan terutama disebabkan ekspor ke China yang turun 38,4 persen secara bulanan, India turun 4,3 persen, Bangladesh turun 74,7 persen dan Turki turun 47,8 persen secara bulanan,” jelasnya.
Menurutnya, ekspor ke China yang masih rendah dapat disebabkan berlanjutnya pembauran cadangan minyak canola (rapeseed), dan ekspor India yang lemah disebabkan oleh demonetisasi yang ditambah faktor ketersediaan minyak sayur karena panen tanaman kharif (padi, jagung, kacang hijau, dsb) yang baik.
“Per dua bulan pertama 2017, ekspor CPO naik menjadi 2,39 juta ton atau 1,1 persen secara tahunan. Sementara itu, ekspor Maret 2017 mengindikasikan peningkatan, meski Intertek Testing Services menunjukkan penurunan ekspor CPO 25,5 persen secara bulanan untuk 10 hari pertama Maret 2017,” jelasnya.
Lebih lanjut, Yudha mengaku masih tetap menjaga pandangan positif terhadap sektor CPO, dengan PT Perusahaan Perkebunan London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) sebagai saham top pick, yang didasari ekspektasi permintaan yang pada akhirnya membaik ke depannya.
“Hal itu akan didukung oleh aktivitas returun stocking oleh negara pengimpor. Kami meyakini penurunan harga kedelai sudah memberikan potensi kenaikan harga CPO,” imbuhnya.
Ia menambahkan, selisih (spread) antara harga CPO dan minyak kedelai saat ini adalah US$79 per ton, di bawah rerata 10 tahun US$150 per ton. Yudha mengaku sedang mengkaji kembali asumsi harga CPO untuk sepanjang 2017. Adapun asumsi saat ini masih di angka 2.700 ringgit per ton.