Jakarta, CNN Indonesia -- Harga minyak mencapai level terendah dalam tiga bulan terakhir pada perdagangan Senin (13/3), didorong kekhawatiran investor bahwa kenaikan produksi minyak AS bisa menekan dampak pembatasan produksi yang dilakukan oleh organisasi negara-negara pengekspor minyak (Organization of the Petroleum Exporting Countries/OPEC).
Dikutip dari
Reuters, data Baker Hughes menunjukkan bahwa pengeboran minyak di AS bertambah dalam delapan pekan berturut-turut. Bahkan, ada kemungkinan produsen minyak masih berambisi untuk menambah produksinya.
Padahal, OPEC dan produsen minyak lain termasuk Rusia telah sepakat akan memangkas produksinya sebesar 1,8 juta barel per hari sepanjang semester pertama tahun 2017. Meski OPEC mengaku bahwa tingkat realisasi kebijakan tersebut cukup tinggi, namun persediaan minyak AS juga meroket ke angka tertingginya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Produsen minyak terbesar Rusia, Rosneft memperingatkan bahwa perbaikan produksi minyk AS bisa menghambat OPEC dan negara lainnya untuk melanjutkan kebijakan ini pada semester II mendatang.
Hasilnya, harga minyak Brent berjangka melemah US$0,02 ke angka US$51,35 per barel. Bahkan, angkanya sempat terjun ke level US$50,85 per barel, atau terendah sejak akhir November silam.
Sementara itu, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) melemah US$0,09 ke angka US$48,40 per barel.
Kendati demikian, analis mengatakan bahwa harga minyak tidak akan jatuh lebih dalam setelah terjun 8 persen dibanding Senin kemarin. Sebagai informasi, penurunan harga minyak mingguan ini merupakan yang terbesar dalam empat bulan terakhir.
Di dalam risetnya, Goldman Sachs percaya bahwa harga minyak WTI bisa mencapai US$57,5 per barel pada kuartal II mendatang.